BAB
III
AGAMA
KRISTEN
A.
Sejarah
Dan Arti Kata Kristen
Kristen adalah agama
yang disampaikan oleh Yesus Kristus.[1]
Istilah Kristen pertama kali dipakai di Gereja Antiokhia (Syria) tepatnya
sekitar tahun 40-an pada abad pertama masehi. Kemudian sebutan ini telah
dibakukan pada 60-an.[2]
Kekristenan lahir di tengah-tengah bangsa Yahudi di Palestina sebelum
pertengahan abad pertama Masehi. Sejarah munculnya kekristenan tidak terlepas
dari sejarah agama dan budaya Yahudi yang telah mengalami pergolakan sejarah
yang sangat panjang.[3]
Istilah Christian (O) i, ditemukan
sekitar abad pertama M. Mula-mula istilah ini digunakan untuk menggambarkan
prajurit-prajurit Kristus, rumah-rumah Kristus, bahkan digunakan juga untuk
para pendukung-pendukung Kristus.[4]
Hancurnya Yerusalem di
tangan Babilonia tepatnya pada tahun 586 SM mengakibatkan banyak rakyat Yahudi
tersebar luas dari Palestina, juga kembalinya orang Yahudi ke Yerusalem dibawah
pimpinan Ezra dan Nehemia, ditambah lagi adanya terobosan kebudayaan
Yunani-Helenistik sejak ditaklukkannya Asia Barat Daya oleh Alexander Agung
(333-332 M), maka setelah Palestina dipengaruhi oleh kebudayaan Helenisme.[5]
Akhirnya bangsa Yahudi dijajah oleh bangsa Mesir (320-204 SM), Siria (204-165
SM) dan Romawi (63 SM-70 M).[6]
Pada masa kekuasaan
Romawi dan kekaisaran Romawi berpusat di Roma merupakan pusat kekeuatan politik
dunia pada masa menjelang munculnya kekristenan. Herodes agung yang memerintah
dari tahun 37 SM – 4 M. Pada masa inilah Herodes ditunjuk sebagai seorang raja
di wilayah Yudea yang berpusat di Yerusalem. Pada saat itu bait suci Allah di
Yerusalem kembali dibangun (Yoh 2:20) dan masa ini kelompok-kelompok politik
dan keagamaan Yahudi (golongan Saduki, Herodian, Farizi, Zelot, dan Esseni
serta lembaga Sanhendrin) sangat dihargai.[7]
“Dalam Kisah
Para Rasul 24:5, para pengikut Yesus mula-mula ini pada waktu itu hanya
dianggap sebagai salah satu aliran atau sekte dari agama Yahudi. Memang ada
beberapa kesamaan antara agama Yahudi dan Kristen. Tetapi Yudaisme disini
sangat menekankan ritualisme, aturan-aturan lahiriah yang ketat, etika-sosial,
dimana semuak aktifitas itu bertujuan agar dapat berkenan pada Allah. Disinilah
terdapat titik perbedaan dengan ajaran kekristenan mula-mula. Yang menjadi
perbedaan pokok antar Yudisme dan Kekristenan (para pengikut Yesus mula-mula)
pada masa itu adalah masalah kepercayaan kepada Yesus. Sebab bagi para
pengiklut Yesus yang mula-mula, Yesus bukanlah hanya sekedar nabi dan guru
melainkan lebih dari sekedar itu adalah mesias perjanjian baru yang telah lama
dinanti-nantikan oleh bangsa Israel. Hal ini tentunya atas dasar nubutan
nabi-nabi pada perjanjian lama yang kini telah digenapi dalam diri Yesus dari
Nazaret (zak 9:9; Mat 16:15-17). Karena itu pula, para pengikut Yesus mula-mula
waktu itu sering disebut orang-orang Nasrani (Kis 24:5) atau juga disebut Orang
Kristen (Kisah Para Rasul 11:26b)”.[8]
Kata Kristen yang
sering digunakan berasal dari bahasa Yunani yaitu Kristianos atau Kristianoi
yang berarti pengikut Kristus. Awalnya kata ini merupakan kata yang bernada
ejekan.[9]
Istilah ekklesia dalam konteks Perjanjian Baru
tentang gereja dapat diartikan sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus
dan yang telah dipanggil keluar dari dunia untuk dipersatukan dalam kesatuan
tubuh Kristus.[10] Jadi
kekristenan bukanlah sekedar aturan-aturan atau ajaran-ajaran agama tertentu
melainkan suatu ungkapan dari iman kepada Yesus Kristus sebagai Mesias yang
datang untuk menjadu Juru selamat umat manusia.[11]
Yesus sendiri pernah membuat pernyataan penting sehubungan dengan gereja (Matius
16:13-19). Berdasarkan ayat tersebut maka dapat diketahui bahwa pribadi Yesus
merupakan dasar dari gereja, Ia adalah Mesias yang menyelamatkan umat manusia
dari segala dosa. Jadi titik awal berdirinya gereja adalah ketika seseorang
menerima Yesus sebagai Tuhan di dalam hatinya, menjadi pengampun bagi
dosa-dosanya.
“pada zama setelah rasul-rasul (70-140
M) kekristenan semakin tersebar keluar mulai dari daerah Syria, Asia kecil,
Yunani, Mesir, Mesapotamia, dan Italia. Dan setelah itu kira-kira pada tahun
150-200 M, kekristenan banyank diserang oleh ajaran sesat oleh ajaran-ajaran
bidat seperti: Gnostitisme dan ajaran-ajaran yang palsu (Kisah Para Rasul
15:1-11).”[12]
Kekristenan masuk ke
daerah persia dan India pada abad ke 3 M. Pada masa inilah kekristenan
mengalami gelombang sejarah yang baru. Setelah mengalami penganiayaan
penganiayaan lagi dari kekaisaran Romawi, akhirnya kekristenan memasuki
masa-masa tenang, tepatnya sejak Constantinus Agung menjadi kaisar Romawi
(306-337 M). Adapun masa tenang ini sebagai akibat dari agama Kristen yang dijadikan sebagai agama resmi pada masa
kekaisaran Romawi, sehingga setiap warga negara diwajibkan memeluk agama
Kristen.[13]
Setelah itu kekristenan
terlibat dalam perdebatan Kristologis yang panjang yang berujung pada munculnya
beberapa konsisli diantaranya: Konsisli di Nicea (325 M). Konsili Nicea ini
diadakan sebagai tanggapan atas ajaran Arius. Arius percaya bahwa Allah Bapa
lebih besar daripada Allah Anak, yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh
Kudus.[14]
Konsili
Konstantinopel (berlangsung dari bulan Mei - Juli 381 M), konsili ini
membenarkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya.
Kondisi di Efesus (431 M), dan konsili Chalcedon (451 M). Akibat dari
terjadinya perdebatan teologis dalam beberapa konsili tersebut adalah
terpecah-belahnya Kristen di Timur. Kristen timur menyebutnya dirinya sebagai
Kristen Ortodoks timur, terdapat di Rusia dan Balkan, sedangkan Kristen di
Barat yang bernama Kristen Katolik yang berpusat di Roma. Kristen Katolik di
Barat telah memakai sistem kepausan, dimana Leo Agung (440-461 M) menjadi Paus
yang pertama.[15] Sekitar
abad ke 7 M gerakan Islam muncul sebagai kekuatan baru dibidang agama dan
politik, di wilayah timur tengah.
“Hingga abad ke
20 Kekristenan mulai masuk ke zaman modern, dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih semakin berkembang pesat. Situasi dunia saat itu banyak
mengalami perubahan besar dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya, kususnya
pasca perang dunia I pada tahun 1914-1918. Keadaan bertambah buruk dengan
terjadinya perang dunia II pada tahun 1939-1945. Peristiwa-peristiwa dunia itu
turut berpengaruh terhadap kekristenan. Dalam kekristenan waktu itu telah
bermunculan berbagai ilmu perang yang sering kali konflik satu dengan yang
lainnya.”[16]
B.
Kasih
Dari Sudut Pandang Kristen
- Dasar Alkitabiah Mengenai Kasih
Dalam
keimanan Kristen, kasih adalah hukum, dan sebuah hukum bersifat mengikat.[17] Inti dari
keseluruhan Alkitab adalah kasih. Yang pertama adalah: Hukum agar umat-Nya
mengasihi Allah, dan ini bukannya kasih sayang mendalam kepada pribadi Allah,
melainkan lebih merupakan perintah kesetiaan. Dalam bahasa Ibrani, kata itu
ditemui dalam surat perjanjian kuno, di mana seorang raja yang ditaklukkan
diperintah untuk 'mengasihi' (artinya setia kepada) maharajanya. Yang Kedua,
adalah Hukum agar umat-Nya mengasihi sesamanya manusia. Allah menciptakan
manusia dengan kodrat untuk mengasihi adalah karena tanpa kasih, manusia tidak
dapat mencapai Sorga (keselamatan). Begitu pentingnya kasih ini, sehingga rasul
Yohanes mengatakan "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam
maut." (1 Yohanes 3:14b).
a.
Dalam
Perjanjian Lama
1.
Dari Sisi Etimologi
Kata kerja (ahab) dan kata benda (aheb) adalah kata yang paling banyak
digunakan dalam Perjanjian Lama (bahasa Ibrani), untuk menunjuk pada istilah
kasih. Elwel mengatakan : “kasih adalah sesuatu yang betul-betul penting”. Kata
ini dipakai sekitar 200 kali dengan menggunakan kata kerja “ahab” dan kata benda “aheb”, digunakan sekitar 30 kali.[18]
Kata
“ahab” sering digunakan untuk
menyatakan kasih Allah kepada manusia. Oleh karena itu Kittel mengatakan:
“dalam budaya
orang Ibrani, penguccapan kata ahab mengingatkan terminologi dasar dari kasih.
Di samping itu, ini dikuatkan oleh teks para rabi yang dituliskan dalam bahasa
Aram. Kasih menunjukkan hubungan antara Tuhan dan manusia, tetapi secara khusus
antara Tuhan dan umat Tuhan”.[19]
Kata kerja “ahab” inilah yang diterjemahkan oleh
LXX menjadi “agapao” dan “aheb” diterjemahkan menjadi “agape”[20]
dalam penggunaannya “ahab” lebih
menunjuk pada pemeliharaan Allah bagi umat-Nya (Ulangan 1:30-31), dan Ia
menuntut supaya umat-Nya juga mengasihi-Nya (Ulangan 6:4-5).[21]
Selain itu “ahab” juga dipakai untuk
menggambarkan hubungan antara anggota keluarga, seperti tuan dan hamba, orang
tua dan anak, maupun sikap terhadap orang asing, janda-janda dan anak yatim
(bnd Ulangan 15:2; 23:15-16; 14:28-29; 16:11-14; 24:7-22) dan juga dipakai
dalam hubungan antara pria dan wanita.[22]
Brown mengatakan dapat menunjuk kepada kedua belah pihakdan segala sesuatunya
dalam hubungan manusia satu dengan manusia lainnya.[23]
2.
Dari Sisi Historis
Sejarah hukum
kasih dalam Perjanjian Lama tidak dapat dilepaskan dari sejarah hukum taurat
yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel melalui hamba-Nya Musa. Kasih yang
diajarkan Yesus dalam Kitab Injil Matius adalah ringaksan sepuluh hukum Tuhan
yang diberikan kepada bangsa Israel melalui Musa di gunung Sinai (Keluaran
20:1-17). Dan pada dasarnya sepuluh perintah Allah di dalam Taurat yang
diberikan kepada Musa merupakan inti historis dalam Perjanjian Lama mengenai
dasar hukuk Kasih.[24]
Hukum taurat ini diberikan kepada bangsa Israel ketika mereka keluar dari tanah
Mesir (Keluaran 6:2-8; 19:3-6). Karena kasih Allah kepada bangsa Israel begitu
besar, maka Allah melepaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir dengan
Tujuan, Allah hendak membuat mereka menjadi bangsa yang melayani-Nya. Untuk itu
Allah berkenan menyatakan diri-Nya dalam pengalaman sehari-hari dengan bangsa
Israel. Dan Allah membutikan diri-Nya sebagai Allah yang bertindak dengan penuh
kasih dalam sejarah kehidupan manusia, sehingga tujuan-Nya untuk memilih bangsa
Israel dapat tergenapi.[25]
Kemudian
dalam proses yang selanjutnya, Tuhan memberikan sepuluh hukum di gunung Sinai
kepada Musa untuk mengatur kehidupan Israel sebagai sebuah bangsa yang baru
dalam menjalani kehidapan mereka yakni dalam menjalin hubungan dengan Tuhan dan
sesama mereka. Hukum ini merupakan dasar dari seluruh hukum yang ada pada
bangsa Israel dan asas-asas yang terkandung di dalamnya merupakan pedoman hidup
Israel sebagai umat pilihan Allah, dimana perintah tersebut harus dilaksanakan
oleh setiap orang yang merupakan bagian dari bangsa itu. Pada perkembangan
selanjutnya hal ini dijelaskan secara lebih eksplisit dalam kitab Imamat dan Ulangan.
Kitab
Imamat merupakan kitab ketiga dari Pentateukh. Ini merupakan buku pedoman yang
berisi peraturan-peraturan dan tugas-tugas keimaman, juga sebagai buku panduan
yang berisi instruksi-instruksi yang menguraikan “kehidupan kudus” yang praktis
bagi umat Israel,[26]
yang memberitahukan bagaimana umat yang berdosa dapat mendekati Allah yang
kudus dan bagaimana mereka dapat hidup kudus.[27]
Kitab ini berasal dari penyataan Allah yang diberikan kepada Musa di kemah
pertemuan (1:1) dan di gunung Sinai (25:1). Karena itu keseluruhan kitab Imamat
terdiri dari hukum-hukum yang diucapkan oleh Allah sendiri.
Konteks
pernyataan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dalam Imamat
19:18, tidak terlepas dari keseluruhan pasal tersebut. Di mana dalam pasal tersebut
membahas tentang kekudusan secara spesifik, yakni perbuatan-perbuatan
orang-orang kudus,[28]
di mana Allah berbicara secara langsung melalui Musa agar perintah-perintah-Nya
dapat disampaikan kepada umat Israel. Jadi perintah ini berhubungan erat dengan
perbuatan orang-orang kudus. Maksudnya, apabila umat Allah mengasihi Allah dan
sesamanya dengan segenap hati, berarti mereka sedang menuju hidup yang kudus.
Dikatakan dalam kitab Imamat 19:33, bahwa sesamamu manusia itu termasuk
orang-orang asing “yang tinggal padamu di negerimu” sedang orang Israel sendiri
masih mengingat ketiga mereka tinggal sebagai orang asing di Mesir.[29]
Sehingga pernyataan dalam kitab Imamat 19:18 adalah untuk mengingatkan
sekaligus menegur bangsa Israel agar tidak memperlakukan hal yang tidak baik
kepada orang-orang asing yang tinggal diantara mereka, tetapi sebaliknya,
mereka harus mengasihi orang-orang tersebut sebagaimana mereka mengasihi
dirinya sendiri. Ini merupakan bagian penting yang ditekankna secara serius
oleh Allah.
Kitab
Ulangan, kitab Musa yang kelima ini berbeda dengan empat kitab yang lainnya.
Kitab ini berisi banyak hal yang penting dan menyajikan percakapan atau amanat
penting dari Musa diakhir kehidupannya. Groenen mengatakan:
“Perbedaan yang
paling mencolok dari antara kitab Ulangan dan Keluaran, Imamat, Bilangan Ialah,
Ulangan tidak merupakan kisah melainkan wejangan”.[30]
Wejangan
itu ialah mengajak dan menasehati umat Allah agar tetap setia pada perjanjian
yang diadakan di gunung Sinai,[31]
sekaligus memperbaharui perjanjian ini dengan generasi yang baru,[32]
dan Musa kembali mengulangi ke-sepuluh hukum Taurat karena di dalamnya
terkandung berbagai ketetapan utama dari perjanjian itu. Tujuan Musa
memperbaharui perjanjian itu adalah agar peerjanjian itu tetap terpelihara dan
diajarkan turun temurun, dari generasi yang satu ke generasi yang selanjutnya.
Pernyataan
Yesus yang berbunyi : Kasihilah Tuhan Allahhmu, dengan segenap hatimu, dengan
segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu, secara jelas tertulis dalam
pasal 6:5. Dan ini merupakan perintah dasar yang utama. Schultz Mengatakan :
“Perjanjian
Sinai dengan segala hukum dan perjanjiannya tetap didasarkan atas kasih, dan
ketaatan Israel seharusnya terbit dari kasih mereka kepada Allah”.[33]
Jadi
kasih merupakan dasar dari semua hukum dan perintah. Sebab banyak hukum dan
perintah dalam Perjanjian Lama yang mengatur hubungan masyarakat, hubungan
antar sesama, dan antar umat Alalh. Karena itu tidak ada satupun aspek dalam
hukum Taurat dan perintah lain dalam hukum tersebut terluput dari kasih.[34]
Melalui hukum dan perintah mengenai mengasihi Allah, merupakan bagian dari
bukti nyata manusia mengasihi sesamanya.[35]
Dengan kata lain, kasih kepada Allah akan tampak jelas dalam tingkah laku
terhadap sesama manusia.
Jika
dicermati dengan seksama, isi keseluruhan kitab Perjanjian Lama ialah
penggambaran kasih Allah terhadap Umat-Nya. Dalam sejarah Perjanjian Lama mulai
dari kitab Kejadian hingga pada kitab Maleaki, semuanya menceritakan tentang
kasih Allah yang dinyatakan secara jelas
dalam kehidupan sehari-hari bangsa Israel. Dan atas dasar kasih Allah ini, maka
semua manusia akan menjadi saudara, tidak ada perbedaan suku bahasa dan lain
sebagainya. Mengasihi Allah akan terbukti dengan cara mengasihi sesama manusia,
dan ini merupakan perwujudan kasih manusia terhadap Allah.[36]
3.
Dari Sisi Teologis
Pembahasan ini
bertolak dari kitab Ulangan 6:5, yang berbunyi : “Kasihilah Tuhan Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”.
Dan dalam Imamat 19:18 yang berbunyi: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri”. Hal ini adalah perintah Allah bagi setiap orang percaya untuk ditaati
dan dilakukan. Kasih menuntun hidup mansia karena ada hukum kasih, dan hukum
itu menyatakan secara rinci apa yang dimaksud dengan kasih.[37]
Yesus
menyimpulkan dengan sangat jelas dalam Injil Matius 22:37-39, bahwa
sesungguhnya seluruh hukum Taurat tercakup dalam dua perintah ini, yaitu:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri”. Seperti penjelasan di atas, bahwa dua hal tersebut
merupakan perintah Allah yang utama dan yang sangat penting, sebab kedua hal
tersebut telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, untuk
dapat memahami hukum kasih ini secara utuh, maka seseorang harus mengerti
tujuan Allah untuk alam semesta ini.
Alkitab dimulai
dengan suatu penjelasan mengenai penciptaan dimana Allah adalah figur pencipta
nya. Dan pada pundak kreativitas Allah tersebut ialah terbentuknya manusia.
Walaupun manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, namun dalam kitab
Kejadian juga menceritakan tentang kejatuhan manusia kedalam dosa yang kemudian
mengakibatkan penjatuhan hukuman terhadapa mereka. Ditengah kejatuhan tersebut,
Allah dengan penuh kasih mengulurkan tangan-Nya untuk membawa manusia kembali
kepada-Nya, sehingga tidak terpisahkan oleh jarak yang diakibatkan oleh dosa
mereka. Dalam hubungan-Nya yang penuh kasih kepada manusia tersebut, Allah
mengampuni dosa mereka. Allah melakukannya karena Dia adalah Allah yang penuh
dengan kasih, penyayang panjang sabar serta melimpah dengan kesetiaan (Keluaran
3:4-6). Hal ini juga dapat dibuktikan melalui penebusan-Nya, yang secara
langsung berhubungan erat dengan penyelamatan Israel dari negeri Mesir dan hal
ini sekaligus contoh terbesar karya penyelamatan-Nya dalam Perjanjian Lama.
“Penebusan” dalam Pentateukh biasanya dihubungkan dengan pembebasan dari
perbudakan (Keluaran 6:6). Berhubungan dengan ini, kitab Ulangan mengatakan
bahwa Allah menebus engkau dari rumah perbudakan (Ulangan 7:8; 13:5).
Hal ini dapat
juga di lihat dari peristiwa dimana bangsa Israel mengeraskan hati dan
kemurtadan mereka ketika mereka memutuskan untuk membuat sebuah patung sembahan
dari emas yang berbentuk anak lembu. Disini Allah tetap menyatakan kasih-Nya
bagi mereka. Memang Israel dihukum karena dosa dan pelanggaran yang mereka
perbuat, tetapi Allah tetap berpegang pada perjanjian dan kasih setia-Nya
(Ulangan 7:9; Keluaran 20:6 sampai kepada beribu-ribu keturunan). Dalam Yeremia
10:24, dikatakan Tuhan menghukum umat-Nya tidak dengan tujuan untuk
membinasakan mereka, tetapi Ia menghukum “menurut hukum” yaitu sesuai
keadilan-Nya yang bersifat kesetian yang tetap.[38]
Dengan demikian dapat dilihat bahwa kasih kepada Allah dalam Perjanjian Lama
menuntut suatu kesungguhan. Allah tidak ingin dipermainkan oleh umat-Nya dengan
melakukan apa yang keji di mata Tuhan, yaitu dengan membuat patung-patung
berhala, menyembah ilah-ilah lain, sebab Ia adalah Allah yang cemburu.
b.
Dalam
Perjanjian Baru
1.
Dari Sisi Etimologi
Kata “aheb” dalam Alkitab Yunani
diterjemahkan menjadi “agape”. Dalam
bahasa Yunani sehari-hari, kata itu tidak dipakai sebagai kata benda tetapi
lebih dikenal baik sebagai kata kerja (agapao).
Agapao berarti “menyambut dengan sayang”, kata ini mengandung arti
kecenderungan kepada seseorang yang bersifat positif.[39]
Barclay mengtakan : kata ini menunjuk kepada kebajikan yang tidak kenal akhir,
kebaikan hati yang tidak mengenal batas dan kehendak baik yang tidak kenal
menyerah.[40]
Dalam Perjanjian
Baru, kata ini adalah kata yang paling sering digunakan yakni sebanyak 263
kali.[41]
Marx mendefinisikan “agape” sebagai
berikut :
“Kasih agape tidak memandang bulu, menghasihi
semua, tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. Agape ditunjukkan
kepada semua manusia, termasuk juga orang-orang kecil atau orang-orang biasa”.[42]
Dalam hal ini,
Tu’u menegaskan pula bahwa :
“Biasanya kalau
orang berbicara mengenai kasih agape ini, maka yang dibicarakan ialah kasih
Allah. Kasih yang mengalir dan bersumber dari Allah sendiri. Kasih agape tidak
pernah pudar, tidak pernah kering dan habis. Kasih agape laksana mata air yang
tidak pernah habis-habisnya.[43]
Hal
ini dapat dibuktikan melalui peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, dimana
Allah tetap mengasihi manusia melalui pengampunan-Nya. Selain daripada agape, Perjanjian Baru juga menggunakan
kasih ini dengan istilah Storge, kata
ini dipakai khusus bagi hubungan sebuah keluarga. Kata ini dipakai untuk
menggambarkan kasih orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya.[44]
Juga
dipakai istilah Phileo yang memiliki
arti kasih persaudaraan, antara sesama teman dalam pergaulan sehari-hari.[45]
Kasih ini mengandung kehangatan perasaan dan kesetiakawanan.[46]
Dan yang lain menggunakan kata Eros.
Kata inisering digunakan dalam hal yang berkaitan dengan moralitas.[47]
2.
Dari Sisi Historis
Pada
kenyataannya banyak, banyak peristiwa yang terjadi dalam Perjanjian Baru yang
dapat dimengerti dengan baik apabila sejarah yang panjang itu diketahui.
Awalnya adalah penciptaan bumi dan segala isinya, termasuk Adam dan Hawa
sebagai manusia pertama. Ketika mereka jatuh ke dalam dosa akibat ketidak
taatan terhadap perintah Allah, maka alam semesta yang menjadi tempat kediaman
merekapun menjadi rusak. Dari sinilah karya penyelamatan Allah mencapai puncak,
pada kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dimulai. Ketika Perjanjian Baru
ditulis, hampir seluruh dunia beradap, kecuali beberapa kerajaan yang dipimpin
oleh kekaisaran Romawi.[48]
Menjelang tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Herodes (yang pada waktu itu
memerintah sebagai raja), yang dipenuhi dengan persaingan antar kelompok, yaitu
diantara sesama anggota keluarganya sendiri yang berusaha merebut kekuasaan
yang dimilikinya. Memang bagi orang-orang Romawi Herodes merupakan raja yang
terpercaya dan hamba yang setia, tetapi bagi orang-orang Yahudi ia adalah
tirani yang buas dan serakah. Di bawah kepemimpinannya yang diktatorial,
orang-orang Yahudi sering mengalami penindasan dan aniaya. Karena segala
kejadian itu, maka muncullah kerinduan bagi orang-orang Yahudi terhadap seorang
raja yang dijanjikan oleh Allah. Dalam menggadapi situasi yang sedemikian,
orang Israel hanya memiliki satu pengharapan yaitu bahwa Allah akan mengirim
seorang mesias yang akan membebaskan mereka dari kuk penindasan itu.[49]
Dari sinilah penyelamatan Allah melalui anak-Nya Yesus Kristus dimulai. Sejak
dari awal pelayan-Nya dalam memberitakan Injil kerajaan Allah, Ia membuat
tanda-tanda ajaib, menyembuhkan orang-orang sakit, memberitakan kabar
keselamatan, hingga pada puncaknya yakni kematian-Nya di atas kayu salib. Hal
ini Ia lakukan hanya untuk menebus dosa manusia dan mendamaikan mereka dengan
Allah, semua tindakan Allah ini didasari oleh kasih yang mewarnai setiap
pelayanan Yesus.
Dalam penelitian
Perjanjian Baru, disimpulkan bahwa walaupun setiap pengarang dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang berbeda-beda namun mereka memiliki satu dasar bersama,
baik para sinoptisi, maupun Paulus dan Yohanes. Dasar bersama itu adalah
orientasi yang teologis atau kristologis, yang menjadi kaidah dan dasar etika
mereka, yaitu bahwa Allah bertindak menyelamatkan melalui Yesus Kristus.[50]
Baxter mengatakan :
“Subyeknya yang
utama adalah Tuhan Yesus Kristus. Obyeknya yang utama adalah keselamatan
manusia. Proyeknya yang utama ialah pemerintahan Yesus Kristus yang deinitif
dalam kerajaan yang tidak terbatas dan berakhir”.[51]
Kemudian Baxter
mengatakan pula demikian:
“Dengan demikian Kristus adalah
subyek dari seitiap kitab Perjanjian Baru. Ia yang dalam Perjanjian Lama
sebagai nubuatan, sekarang muncul dari sejarah. Dia yang dalam Perjanjian Lama
merupakan harapan yang superior, dalam Perjanjian Baru merupakan fakta yang
imperior. Apa yang dalam Perjanjian Lama dinantikan, dalam Perjanjian Baru
merupakan yang dialami. Yang dipersiapkan merupakan yang terlaksana. Yang
dahulu tersembunya sekarang dinyatakan. Yang lama diramalkan sekarang
digenapi”.[52]
Kesimpulan
yang dapat ditarik adalah, bahwa Kristus merupakan Tokoh utama dalam Perjanjian
Baru dan Dia adalah obyek dari pemberitaan dalam Perjanjian Baru. Maka tidaklah
heran jika karya penebusan-Nya bagi umat manusia merupakan inti dari
kitab-kitab Perjanjian Baru. Di atas kayu salib itulah puncak kejahatan manusia
dan puncak kasih Allah. Karena begitu besar kasih Allah bagi umatnya yang
berdosa, maka diberikan-Nya anak-Nya sebagai tebusan bagi dosa manusia.
Meskipun Allah benci terhadap dosa dan tidak dapat mengasihi dosa tetapi Ia
sungguh-sungguh mengasihi manusia yang berdosa.
3.
Dari Sisi Teologis
Keyakinan bahwa
Allah adalah yang pengasih, merupakan keyakinan yang mendasari semua bagian
dalam Perjanjian Baru. Dalam kitab-kitab Injil sinoptik, kasih Allah lebih
dipandang sebagai hal yang sudah diterima daripada sebagai hal yang perlu
diuraikan.[53]
Dalam
tulisan-tulisan Yohanes, kasih Allah kepada anak-Nya merupakan bukti utama
bahwa kasih adalah sifat Allah yang kakiki (Yohanes 3:35; 5:20; 10:17; 15:9;
16:27; 17:23-24). Yesus sangat menyadari bahwa kasih Bapa kepada-Nya merupakan
dasar dan pola kasih Allah kepada umat-Nya (Yohanes 17:23). Dalam ajaran Yesus,
sangat penting bahwa yang diinginkan oleh manusia adalah menerima kasih Allah
(Yohanes 14:21-23). Dalam perikop tentang “Hukum yang Terutama”, Yesus
menyatakan bahwa perintah pertama dan terutama adalah “Kasihilah Tuhan Allah
mu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu”. Yang dimaksud dengan mengasihi Allah dengan “segenap” , seperti yang
diperintahkan oleh Yesus ini, menurut Kingsbury adalah:
a) Memberikan
kepada-Nya kesetiaan utuh; b) melayani Dia sampai harus menyerahkan diri
sekalipun; c) menyerahkan segala milik (kedudukan dan harta) sebagai tanda
kesetiaan seseorang kepada-Nya.[54]
Dan perintah
kedua yang sama dengan yang pertama adalah, “kasihilah sesamamu seperti dirimu
sendiri”. Contoh klasik mengenai mengasihi sesama terdapat dalam perumpamaan
tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10: 30-37). Melalui pertanyaan
mengenai siapakah sesama manusia, maka ahli Taurat itu bermaksud mencari tau
batas-batas kewajibanya untuk mengasihi, sejau mana dia wajib untuk bertindak
bila seseorang membutuhkan pertolongan dan sejauh mana dia boleh berdiam diri.[55]
Tetapi maksud Yesus yang sesuingguhnya adalah bahwa kewajiban untuk mengasihi
tanpa ada batasan-batasan. Dengan demikian, seharusnya kasih tidak dibatasi oleh
kebiasan-kebiasaan, dan prasangka-prasangka, melainkan bebas mengatasi
batas-batas jalan yang menuju sesamanya. Dengan kata lain, orang yang mengasihi
tidak dapat menjangkau setiap manusia manapun yang membutuhkan bantuan dari
sesamanya.
Hukum Yesus agar
mengasihi musuh dan mereka yang menganiaya sesamanya, berbuat baik kepada
mereka yang membenci sesamanya, agar memberkati mereka yang mengutuki sesamanya
sekaligus mendoakan mereka, menyatakan bahwa kasih tidak hanya dibatasi oleh
perasaan hati. Dalam kedua perintah inilah terkandung dasar dan maksud semua
hukum Taurat dan seluruh kehendak Allah. Maka Yesus mengembangkan pendapat
bahwa mematuhi hukum Taurat dan melakukan kehendak Allah pada hakekatnya adalah
selalu merupakan perbuatan kasih.[56]
Paulus juga
memiliki pemikiran yang sama. Dalam surat Roma (yang paling menekankan
kebenaran dan keadilan Allah), ia juag berbica mengenai kasih Allah dengan
kepastian yang sama. Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati manusia melalui
Roh Kudus (Roma 5:5). Pernyataan ini dengan jelas sekali memperlihatkan kasih
Allah terhadap manusia. Kasih ini terlihat paling jelas dalam karya Allah
menyelamatkan orang-orang berdosa (Roma 5:8). Hal ini jelas dan nyata, terutama
karena Paulus melihat salib Kristus sebagai sesuatu yang sangat penting.[57]
Akibatnya bagi
orang-orang percaya ialah bahwa mereka tidak akan dapat dipisahkan dari kasih
tersebut (Roma 8:39). Kasih membeuat mereka lebih daripada orang-orang yang
menang (Roma 8:37). Ungkapan yang paling jelas mengenai sifat Allah yang penuh
kasih teradapat dalam surat I Yohanes yang berkata demikian : “Allah adalah
kasih” (I Yohanes 4:8,16). Hal ini kembali menegaskan bahwa kasih merupakan
sifat hakiki dari Allah.
Maka sebagai
kesimpulannya, bahwa dalam Perjanjian Baru, “kasih” dianggap sebagai pokok yang
mendasari pendekatan Allah kepada manusia. Pengorbanan-Nya merupakan bukti yang
paling konkrit bagi kasih-Nya untuk manusia, sehiungga tdak ada pembuktian
kasih yang lebih mahal dari apa apa yang telah diberikan Allah melalui kematian
anak-Nya yang tungga demi menebus dan mendamaikan Allah dengan umat-Nya.
4.
Aplikasi
Hukum Kasih
a.
Kasih Terhadap Allah
Dalam perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, hidup untuk mengasihi Allah merupakan kewajiban. Para
nabi sering berbicara tentang kasih, Yesus Kristus berbicara tentang kasih,
rasul-rasul (Paulus dan Yohanes) berbicara tentang kasih, gereja-gereja
berbicara tentang kasih. Hal ini merupakan bukti bahwa kasih kepada Allah dan
kasih terhadap sesama menjadi ciri utama dari ajaran orang Kristen. Pada masa
Yesus, telah terjadi krisis kasih dalam kehidupan bangsa Israel. Memang mereka
mentaati hukum Taurat, tetaspi hati yang mengasihi Allah mulai pudar dari
mereka. Dalam Matius 22:37, secara jelas Yesus memerintahkan agar manusia
mengasihi Allahnya dengan segenap hati,l dengan segenap jiwa dan dengan segenap
akal budi. Ini menunjukkan bahwa berarti kasih merupakan harus diutamakan dan
hal yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia.
Semua manusia
dipanggil untuk hidup dalam kasih dan mengashi dengan segala yang dimilikinya.
Inilah yang diminta oleh Allah dari semua orang percaya. Kasih ini haruslah
kasih yang sepenuh hati dan menguasai seluruh keadaan manusia, yaitu kasih yang
dibangkitkan oleh kasih-Nya kepada manusia yang menyebabkan Allah mengutus
anak-Nya yang tunggal demi kepentingan manusia dan meliputi kesetiaan dan
keterikatan pribadi dengan Allah.[58]
Berikut ini merupakan beberapa bentuk kasih manusia kepada Allah.
1. Dalam
Beribadah
Ada sebagian orang menganggap bahwa yang dimaksud
dengan ibadah apabila seseorang setiap kali datang ke gereja. Bertolak dari kondisi yang seperti ini, maka
di sini akan ditunjukkan ibadah yang sesuai dengan standar Alkitab. Ibada
merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan yang didasari oleh semua orang
percaya sebagai sebuah kewajiban yang hakiki untuk dijalankan. Dan merupakan
cara yang paling jelas bagi gereja untuk memenuhi tujuannya yakni menghormati
Allah.[59]
Dalam penjelasan di bawah ini, ibadah akan dibagi
menjadi dua bagian yaitu ibadah secara pribadi dan ibadah secara bersama.
a. Ibadah
Secara Pribadi
Alkitab
mencatat orang-orang yang selalu beribadah secara pribadi kepada Allah,
diantaranya: Daniel yang berdoa tiga kali sehari secara pribadi (Daniel 6:11),
Daud mencari Tuhan pada pagi hari dan malam hari (Mazmur 5:4; 42:9). Kitab
Tawarikh 16:11 mengatakan “carilah wajah-Nya selalu”. Beberapa contoh di atas
merupakan prinsip bahwa ibadah dapat terus berlangsung kapan saja, di mana
saja, tanpa dibatasi apapun. Namun demikian perlu adanya waktu khusus setiap
hari, dimana seseorang dapat memberikan waktunya secara khusus untuk
berkomunikasi secara pribadi dengan Tuhan, [60]
sehingga dia dapat mengutarakan seluruh isi hatinya kepada Tuhan. Bagi seorang Kristen yang mengasihi Allah, hal ini tidak
akan menjadi beban baginya, tetapi menjadi kebutuhan pokok dalam hidupnya.
b. Ibadah
Secara Bersama
Alkitab
tidak hanya menaruh ibadah secara individual. Seseorang bukan saja bait Allah
secara individu, sebab persekutuan bersama juga merupakan bait Allah. Maksudnya
adalah bahwa jika seseorang secara pribadi da\tang kepada Allah di “bait Allah
pribadi”, ia juga tahu bahwa ia juga harus beribadah bersama didepan umum.
Rasul Paulus berkata
“Janganlah kita
menjauh dari pertemuan-pertemuan ibadah kita , seperti dibiasakan oleh beberapa
oranga, tetapi marilah kita saling menasehati dan semakin giat menjelang hari
Tuhan yang mendekat (Ibrani 10:24-25)”.
Maka penting bagi orang percaya
saat ini untuk berkumpul bersama-sama seperti yang dilakukan orang-orang
Kristen yang mula-mula. Oleh sebab itu orang-orang Kristen perlu untuk
bersekutu dalam pertemuan-pertemuan ibadah supaya mereka semua bisa saling
menasehati, menegur dan memberi dorongan seorang dengan yang lain.[61]
Yesus mengatakan, “sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaku di
situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20).
Ada
kekuatan dalam persatuan. Kitab Pengkhotbah 4:12 berbunyi demikian, “Dan bila
mana satu orang dapat dikalahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga
lembar tak mudah diputuskan”. Kekuatan persatuan berlaku juga dalam hal-hal
rohani.
2. Dalam
Pemberitaan Injil
Pemberitaan
Injil merupakan bagian utuh dari rencana misi Allah yang bertujuan membawa
keselamatan bagi manusia. Allah telah memberikan “mandat misi” bagi umat-Nya
untuk menjadi mandataris-Nya. Sebagai mandataris dari misi Allah, umat Tuhan
diberikan tanggung jawab untuk mebawa jiwa kepada Allah.[62]
Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka Allah memberikan janji
penyelamatan kepada manusia degan tujuan terpenting yaitu, untuk membebaskan
manusia dari dosa (Kejadian 3:15; Galatia 4:4; Matius 1:21; I Timotius 2:5).
Pembebasan ini direncanakan Allah untuk dilakukan melalui Yesus Kristus (I
Petrus 1: 18; 2:18-25; Roma 1:16-17). Misi ini kemudian dilanjutkan oleh Yesus
yang Ia sampaikan kepada murid-murid-Nya sebagai amanat agung:
“Yesus mendekati
mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan
di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai
kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:18-20).
Perintah ini berlaku bagi semua orang percaya yang
sudah menerima Yesus sebagau Tuhan dan juru selamatnya. Dan memeritakan Injil
merupakan sebuah kewajiban, dilakukan sesua dengan kemampuan dan karunia yang ada padanya.[63] Kewajiban ini tidah hanya sampai mengajak
mereka utuk meneriuma Yesus, tetapi wajib menjadikan mereka menjadi murid Yesus
juga. Yesus memrintahkan: “Pergilah dengan penyertaan-Ku. Di dalam pribadi Roh
Kudus, Yesus berjanji akan menyerta orang percaya sampai pada akhir zaman.[64]
Dan injil harus diberitakan kepada siapa saja, tanpa memilih-milih suku atau
budaya tertentu.[65]
b.
Kasih Terhadap Sesama
Perlu
untuk diketahui bahwa mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri bukanlah dua
hal yang saling bertentangan, tetapi sebaliknya merupakan dua hal yang memiliki
keterkaitan dan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Seseorang tidak akan
mungkin bisa mengasihi sesamanya jika ia tidak mengasihi dirinya sendiri.
Kemudian jika seseorang dapat mengasihi dirinya sendiri secara wajar maka dalam
dirinya akan timbul kasih bagi sesama, apalagi bagi orang Kristen yang telah
merasakan kasih Allah dalam kehidupannya. Pada hukum yang kedua ini (mengasihi
sesama) , sebenarnya manusia diminta agar menempatkan hak-hak dan kebutuhan
sesamanya pada posisi yang sama seperti dirinya sendiri. Terdapat juga
penjelasan yang sama dalam Matius 7:12, yaitu: “segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka”. Jadi sesama manusia merupakan bagian dari diri sendiri. Sehingga
ketika seseorang mengasihi sesamanya, maka ia akan memberi takaran yang sama dengan
ketika ia mengasihi dirinya sendiri. Ketika seseorang mengasihi sesamanya,
sebenarnya ia sedang mengupayakan sesuatu yang baik bagi sesama dan dirinya
sendiri. Sama seperti seseorang secara natural
mencari apa yang baik dan berguna bagi dirinya sendiri. Hal yang mencirikan
seseorang mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri dapat dilihat dari sikap
kepeduliannya; kepedulian terhadap orang-orang susah, orang-orang yang
membutuhkan pertolongan, orang yang sedang menderita kesukaran adalah orang-orang
yang ditempatkan Allah untuk manusia dapt menjadi sesama bagi mereka. Sikap
kepedulian ini dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini:
1. Kepedulian
Terhadap Orang Miskin
Kemiskinan
merupakan istilah yang relatif. Pengertian semula dari istilah ini menggambarkan
syarat kehidupan manusia secara lahiriah, ekonomi dan sosial. Kenyataan hidup
yang digambarkan dalam pengertian ini tentunya sangat bergantung pada
sosial-ekonomi pada umumnya dan tempat yang bersangkutan itu sendiri secara
khusus. Shott mendeffinisikan istilah “miskin” ini dalam tiga keadaan, yaitu
pertama; ditinjau dari segi ekonomi, ada orang-orang yang miskin karena
ketiadaan materi. Kedua, ditinjaui dari segi sosial, ada orang yang miskin
akibat penindasan, mereka merupakan korban dari ketidak adilan dan tidak
berdaya. Ketiga, ditinjau dari segi spiritual
ada orang yang miskin yang rendah hati, yang menyadari ketidak beradaannya
dan hanya mengandalkan Tuhan.[66] Pada zaman Yesus mayoritas masyarakat
merupakan orang-orang miskin.[67]
Hal ini dapat dilihat dari orang-orang yang hidupnya bergantung pada sedekah
(Markus 10:21); Lazarus seorang pincang yang meninggal dalam kemiskinan (Lukas
16:19); juga para pengemis yang berbaring kelaparan di pinggir jalan yang
diundang datang ke perjamuan (Lukas 14:13, 21). Ada juga pengemis lumpuh yang
tergeletak di depan gerbang yang menanti sedekah dari pengunjung bait Allah
(Kisah Para Rasul 3:1-11). Semua ini merupakan cerminan warna asli pada zaman
Yesus dan semua orang miskin ini merupakan bagian dari para pengikut-Nya.
Memang tidak dapaty dipastikan dalam setiap kasus apakah orang miskin itu
pengemis, orang pengangguran atau rakyat jelata yang melarat. Tetapi satu hal
yang pasti, bahwa meraka adalah orang miskin dan tidak berdaya. Stegemann
mengatakan bahwa “mereka adalah orang yang sangat miskiin, yang berjuan untuk
mengatasi penderitaannya demi memperjuangkan hidup yang lebih lama lagi”.[68]
Keadaan saat
inipun masih diwarnai oleh kemiskinan dan penderitaan dari orang-orang yang
membutuhkan uluran tangan dan sikap peduli dari sesamanya. Disinilah hukum
kasih teerhadap sesama harus dimengerti dari segi belas kasihan. Sikap belas
kasihan merupakan bukti dari kepedulian. Kepedulian yang dimaksud dalam hal
ini, tidak semata-mata hanya kepada hal-hal materi, tetapi lebih kepada
perbuatan yang lahir dari kasih dan belas kasihan ilahi. Sehingga waktu mereka
ditolong bukan hanya pada waktu mereka membutuhkan pakaian, uang dan hal
lainnya yang bersifat materi, tetapi kepada mereka juga diberitakan tentang
kabar keselamatan tentang “kerajaan Allah” (Matius 11:5). Orang-orang miskin
seperti ini juga sangat berharga di mata Allah, karena itu, sesungguhnya sangat
perlu untuk memperdulikan mereka dalam kesulitan-kesulitan hidup yang mereka
alami.
2. Kepedulian
Terhadap Orang Sakit
Penyakit
bukanlah hal sulit untuk ditemukan. Dalam lingkungan sehari-hari, “orang sakit”
sering dijumpai bahkan hal itu bisa menimpa siapa saja. Supaya tidak
menimbulkan kebingungan bagi pembaca, penulis akan menjelaskan mengenai maksud
orang-orang sakit. Orang-orang sakit yang dimaksud oleh penulis adalah
orang-orang yang sakit secara fisik. Orang-orang yang berada dlam kondisi
seperti ini merupakan orang yang lemah, orang yang tidak bisa mengurus dirinya
sendiri secara maksimal,[69]
bahkan jika sakit yang dideritanya tergolong sakita yang akut, maka orang
tersebut biasanya tidak berani menghadapi kenyataan yang menimpa dirinya, putus
asa, depresi, dan bunuh diri, bahkan ironisnya ia menyalahkan Allah yang
dianggapnya tidak adil. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah
banyak orang yang meninggal karena penyakit. “lebih banyak orang yang meninggal
karena penyakit daripada penyebab lain, seperti kecelakaan, bunuh diri dan lain
sebagainya.[70]
Dengan
adanya kenyataan seperti ini sebagai orang-orang yang telah menerima kasih
Allah, kasih tersebut harus dipraktek kan kepada mereka yang merupakan sesama
seperti yang dikatakan Yesus. Sakit penyakit yang berat sering menjadi sumber
tekanan jiwa bagi penderitanya, [71]
di sinilah peranan kepedulian terhadap sesama sangat dibutuhkan. Mereka perlu
dorongan yang meyakinkan mereka untuk tetap bertahan dengan sikap optimisme bahwa mereka dapat disembuhkan
dan ada orang-orang yang siap untuk menolong. Iman dan kerohanian mereka juga
perlu dikuatkan sehingga mereka tidak menjadi tawar hati dan kecewa. Melalui
sikap kepedulian seperti ini akan membuat mereka tetap tegar dalam menghadapi
hidup mereka. Sikap peduli terhadap orang sakit seperti ini juga merupakan
wujud dari kasih kepada sesama. Ketika seseorang sedang melayani orang yang
sakit, sesungguhnya dia sedang melayani dirinya sendiri. Inilah maksud dari
perintah kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.
3.
Kepedulian Terhadap Orang Yang
Berdukacita
Peristiwa
tentang kematian Lazarus bukanlah peristiwa yang asing bagi orang Kristen. Pada
saat Yesus mendengar tentang kematiannya, Dia juga pergi ke Bethania,
berdukacita bahkan menangis (Yohanes 11:35). Dukacita merupakan beban perasaan
yang sulit untukl ditanggung, meskipun itu merupakan kematian yang dilalui
melalui penderitaan yang lama. Biasanya orang-orang yang berdukacita mengalami
beberapa macam pengalaman emosi seperti gelisah, takut, kesepian, kemaranhan,
kebingungan, kecil hati, bahkan keputus asaan.[72]
Disamping dukacita yang disebabkan kematian ada juga hal lain yang dialami
seseorang yang dapat menyebabkan kesedihan luar biasa, misalkan kehilangan
salah satu bagian tubuh, kehilangan potensi dan kemampuan (misalnya tidak dapat
bekerja lagi karena mengalami kelumpuhan), kehilangan kekayaan (bangkrut),
perceraian suami istri. Orang-orang semacam ini sangat membutuhkan rasa
kepedulian dari sesamanya, butuh untuk dimengerti sehingga sesamanya perlu
merasakan simpati, turut merasakan duka yang dialami dan mendukungnya untuk
tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Tujuannya adalah agar orang
berdukacita dapat mengatasi kesedihannya tanpa kibat-akibat fatal atau paling
tidak mengurangi akibat negatif akibat kesedihannya dan menuntun dia sampai
pada pengertian “mengijinkan Tihan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi dan mengandalkan Dia” (Roma 8:28).
4.
Kepedulian Terhadap Masalah-masalah Yang
Terjadi dalam Hidup Manusia
Banyak
masalah dalam hidup yang harus dihadapi. Dan tidak jarang manusia dihadapkan
dengan berbagai frustasi, khususnya apabila keinginan atau kehendaknya tidak
tercapai.[73] Sering
muncul penghambat yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai apa yang
diharapkan dan apa yang dituju. Masalah dalam hidup tidak akan pernah berakhir,
sampai manusia menghadap Allah. Dan memamng masalah-masalah itu Tuhan ijinkan
terjadi lewat setiap kehidupan manuusia dengan tujuan yang pasti yaitu untuk
kebaikan manusia. Sebagai orang percaya perlu baginya untuk melihat
masalah-masalah yang terjadi dalam hidup manusia seperti Yesus melihat yaitu
dengan penuh kasih dan belas kasihan. Kasih ini jugalaha yang harus menjadi
cerminan dalam tindakan orang Kristen yang terwujud lewat sikap peduli atas
masalah-masalah dalam hidup manusia. Semua manusia, butuh perhatian
(kepedulian), butuh penghargaan dan butuh penerimaan. Terlebih lagi mereka,
orang yang memiliki masalah-masalah dalam hidupnya. Orang perlu menjadi rekan,
sahabat, orang tua bagi mereka dan menjadi seperti Yesus laukuan yaitu mengerti
dan menghargai keadaan mereka sebagai tindakan yang penuh kasih dan belas
kasihan.
[1] Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan
Pengenbangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 530
[2] J.D.Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I
(Jakarta: Yayasan Bina Kasih/Omf ), 594
[3] HendriksonSimbolon, Konsepsi Keesaan Allah Menurut Perspektif
Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan Komparatif) (Bogor: Sekolah Tinggi
Teologi Pentakosta Bogor, 2006), 10
[4] J.D.Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I
(Jakarta: Yayasan Bina Kasih/Omf ), 594
[5] H. Jagersma, Dari Alexander Agung Sampai Bar Kokhba,
Sejarah Israel Dari 330 sm – 135 M (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 13
[6] Hendrikson Simbolon, Konsepsi Keesaan Allah Menurut Perspektif
Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan Komparatif)
(Bogor: Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), 10
[7]
L.E. Toombs, Diambang Fajar
Kekristenan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 57-64
[8] HendriksonSimbolon, Konsepsi Keesaan Allah Menurut Perspektif
Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan Komparatif) (Bogor: Sekolah Tinggi
Teologi Pentakosta Bogor, 2006), 10
[10]
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 173
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Klaus Wetzel, Kompendium Sejarah Gereja Asia (Malang:
Gandum Mas 2000), 26.
[14] Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 24.
[15] Ibid, 12.
[16]
Ibid
[18] Walter A. Elwel, Evangelical Dictionary Of Teology (Michigan:
Baker Book House, 1984), 656
[19] Gerard Kittel, Theological Dictionari Of New Testament Vol
I (Michigan: Eardmans Publisher, 1986), 175.
[20] E.F. Harrison, The
International Standard Bible Encyclopedia Vol III (Michigan: Eardmans
Publisher 1986), 175.
[21] J.L. Ch. Abineno, Apa Kata Alkitab III (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1981), 83.
[22] Gerard Kittel, Theological Dictionari Of New Testament Vol
I (Michigan: Eardmans Publisher, 1986), 36.
[23] Colin Brown, Dictionari Og The New Testament Theology
(Michigan: Zondervan Publishing House, 1980), 539.
[24] Andrew E. Hill dan John H.
Walton, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 1996), 4.
[25] D. Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester (Jakarta: Bina Kasih
OMF, 1995), 34.
[27] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum
Mas, 1998), 220.
[28] Robert M. Paterson, Tafsiran Kitab Imamat (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), 257.
[29] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum
Mas, 1998), 221.
[30] C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), 116.
[31] Ibid
[32] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum
Mas, 1998), 288.
[33] Samuel T. Schultz, The Gospel Of Moses (New York: Harper
and Row, 1974), 6.
[34] C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), 119.
[35] Ibid
[36] Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997), 39.
[37] __________, Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 1997), 335.
[38] Carl Barth, Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 81.
[39] Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), 319.
[40] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Matius 1-10
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 290-291.
[41] Colin Brown, New Testament Theology (Michigan:
Zondervan Publishing House, 1976), 547.
[42] Dorothy Marx, New Morality (Bandung:Kalam Hidup,
1994), 55.
[43] Tulus Tu’u, Etika Dan Pendidikan Seksual (Bandung: Kalam Hidup 1996), 287.
[44] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Matius 1-10
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 290-291.
[45] Dorothy Marx, New Morality (Bandung:Kalam Hidup,
1994), 58.
[46] Tulus Tu’u, Etika Dan Pendidikan Seksual (Bandung: Kalam Hidup 1996), 30.
[47] Dorothy Marx, New Morality (Bandung:Kalam Hidup,
1994), 58.
[48] Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 1997), 3.
[49] J.H Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Baru
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 8-9.
[50] Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi ( Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997), 6.
[51] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab III Matius – Kisah Para
Rasul (Jakarta:BPK Gunung Mulia 1980), 53.
[52] Ibid
[53] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 1998), 84.
[54] Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Ceritera (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996), 90.
[55] Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi ( Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997), 34.
[56] Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Ceritera (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996), 90.
[57] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 1996), 63.
[58] __________Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Malang: Gandum Mas, 1998),
1550.
[59] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 306
[60] Judy Bartel, Ibadah Kristen (Malang : Gandum Mas,
1981), 94.
[61] Judy Bartel, Ibadah Kristen (Malang : Gandum Mas,
1981), 99.
[62] Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini II (Malang: Gandum
Mas, 1998), 7.
[63] D.W. Ellwis, Metode Penginjilan (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1993), 7.
[64] Billy Graham, Beritakan Injil (Yoyakarta: Yayasan
Andi, 1992), 37.
[65] Stephen Tong, Teologi Penginjilan (Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1998), 34.
[66] John Shott, Isu-Isu Global (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996), 307.
[67] Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin Menurut Lukas
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), 43.
[68] Wolfgang Stegemann, Injil
Dan Orang-Orang Miskin (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 2.
[69] Jonathan A. Tirsna, Mengatasi Masalah Hidup (Bandung: Kalam
Hidup, 1993), 70.
[70] J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang-Orang Sakit
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 4.
[71] Gary R. Collins, Konseling Kristen Yang Efektif (Malang:
Seminari Alkitap Asia Tenggara, 1989), 160.
[72] Ibid, 169.
[73] Jonathan A. Tirsna, Mengatasi Masalah Hidup (Bandung: Kalam
Hidup, 1993), 17.
Lanjutkan
BalasHapus