Rabu, 30 Oktober 2013

Didan Boman's: GIG Liric (Tuhan Kau Rajaku)

Didan Boman's: GIG Liric (Tuhan Kau Rajaku)

Didan Boman's: GIG Liric (Tuhan Kau Rajaku)

Didan Boman's: GIG Liric (Tuhan Kau Rajaku)

GIG Liric (Tuhan Kau Rajaku)



Tuhan Kau Rajaku

Tuhan adalaha sumber kekuatanku
Didalam pelukan kasih-Mu
hatiku takkan pernah goyah.
Walau seakan-akan tiada jalan
Namun satu hal yang kutau
Kasih setia-Mu kepadaku


Reff               :

Tuhan kaulah rajaku
Keslamatanku
Aku tak’akan goyah
Yesus Kau penolongku
Gunung batuku
Ho o o o o o

                                      By : GIG (God Is Good)





BAB III AGAMA KRISTEN (KASIH)



BAB III
AGAMA KRISTEN

A.                                     Sejarah Dan Arti Kata Kristen
Kristen adalah agama yang disampaikan oleh Yesus Kristus.[1] Istilah Kristen pertama kali dipakai di Gereja Antiokhia (Syria) tepatnya sekitar tahun 40-an pada abad pertama masehi. Kemudian sebutan ini telah dibakukan pada 60-an.[2] Kekristenan lahir di tengah-tengah bangsa Yahudi di Palestina sebelum pertengahan abad pertama Masehi. Sejarah munculnya kekristenan tidak terlepas dari sejarah agama dan budaya Yahudi yang telah mengalami pergolakan sejarah yang sangat panjang.[3] Istilah Christian (O) i, ditemukan sekitar abad pertama M. Mula-mula istilah ini digunakan untuk menggambarkan prajurit-prajurit Kristus, rumah-rumah Kristus, bahkan digunakan juga untuk para pendukung-pendukung Kristus.[4]
Hancurnya Yerusalem di tangan Babilonia tepatnya pada tahun 586 SM mengakibatkan banyak rakyat Yahudi tersebar luas dari Palestina, juga kembalinya orang Yahudi ke Yerusalem dibawah pimpinan Ezra dan Nehemia, ditambah lagi adanya terobosan kebudayaan Yunani-Helenistik sejak ditaklukkannya Asia Barat Daya oleh Alexander Agung (333-332 M), maka setelah Palestina dipengaruhi oleh kebudayaan Helenisme.[5] Akhirnya bangsa Yahudi dijajah oleh bangsa Mesir (320-204 SM), Siria (204-165 SM) dan Romawi (63 SM-70 M).[6]
Pada masa kekuasaan Romawi dan kekaisaran Romawi berpusat di Roma merupakan pusat kekeuatan politik dunia pada masa menjelang munculnya kekristenan. Herodes agung yang memerintah dari tahun 37 SM – 4 M. Pada masa inilah Herodes ditunjuk sebagai seorang raja di wilayah Yudea yang berpusat di Yerusalem. Pada saat itu bait suci Allah di Yerusalem kembali dibangun (Yoh 2:20) dan masa ini kelompok-kelompok politik dan keagamaan Yahudi (golongan Saduki, Herodian, Farizi, Zelot, dan Esseni serta lembaga Sanhendrin) sangat dihargai.[7]
“Dalam Kisah Para Rasul 24:5, para pengikut Yesus mula-mula ini pada waktu itu hanya dianggap sebagai salah satu aliran atau sekte dari agama Yahudi. Memang ada beberapa kesamaan antara agama Yahudi dan Kristen. Tetapi Yudaisme disini sangat menekankan ritualisme, aturan-aturan lahiriah yang ketat, etika-sosial, dimana semuak aktifitas itu bertujuan agar dapat berkenan pada Allah. Disinilah terdapat titik perbedaan dengan ajaran kekristenan mula-mula. Yang menjadi perbedaan pokok antar Yudisme dan Kekristenan (para pengikut Yesus mula-mula) pada masa itu adalah masalah kepercayaan kepada Yesus. Sebab bagi para pengiklut Yesus yang mula-mula, Yesus bukanlah hanya sekedar nabi dan guru melainkan lebih dari sekedar itu adalah mesias perjanjian baru yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Israel. Hal ini tentunya atas dasar nubutan nabi-nabi pada perjanjian lama yang kini telah digenapi dalam diri Yesus dari Nazaret (zak 9:9; Mat 16:15-17). Karena itu pula, para pengikut Yesus mula-mula waktu itu sering disebut orang-orang Nasrani (Kis 24:5) atau juga disebut Orang Kristen (Kisah Para Rasul 11:26b)”.[8]

Kata Kristen yang sering digunakan berasal dari bahasa Yunani yaitu Kristianos atau Kristianoi yang berarti pengikut Kristus. Awalnya kata ini merupakan kata yang bernada ejekan.[9]
Istilah ekklesia dalam konteks Perjanjian Baru tentang gereja dapat diartikan sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus dan yang telah dipanggil keluar dari dunia untuk dipersatukan dalam kesatuan tubuh Kristus.[10] Jadi kekristenan bukanlah sekedar aturan-aturan atau ajaran-ajaran agama tertentu melainkan suatu ungkapan dari iman kepada Yesus Kristus sebagai Mesias yang datang untuk menjadu Juru selamat umat manusia.[11] Yesus sendiri pernah membuat pernyataan penting sehubungan dengan gereja (Matius 16:13-19). Berdasarkan ayat tersebut maka dapat diketahui bahwa pribadi Yesus merupakan dasar dari gereja, Ia adalah Mesias yang menyelamatkan umat manusia dari segala dosa. Jadi titik awal berdirinya gereja adalah ketika seseorang menerima Yesus sebagai Tuhan di dalam hatinya, menjadi pengampun bagi dosa-dosanya.
“pada zama setelah rasul-rasul (70-140 M) kekristenan semakin tersebar keluar mulai dari daerah Syria, Asia kecil, Yunani, Mesir, Mesapotamia, dan Italia. Dan setelah itu kira-kira pada tahun 150-200 M, kekristenan banyank diserang oleh ajaran sesat oleh ajaran-ajaran bidat seperti: Gnostitisme dan ajaran-ajaran yang palsu (Kisah Para Rasul 15:1-11).”[12]
Kekristenan masuk ke daerah persia dan India pada abad ke 3 M. Pada masa inilah kekristenan mengalami gelombang sejarah yang baru. Setelah mengalami penganiayaan penganiayaan lagi dari kekaisaran Romawi, akhirnya kekristenan memasuki masa-masa tenang, tepatnya sejak Constantinus Agung menjadi kaisar Romawi (306-337 M). Adapun masa tenang ini sebagai akibat dari agama Kristen  yang dijadikan sebagai agama resmi pada masa kekaisaran Romawi, sehingga setiap warga negara diwajibkan memeluk agama Kristen.[13]
Setelah itu kekristenan terlibat dalam perdebatan Kristologis yang panjang yang berujung pada munculnya beberapa konsisli diantaranya: Konsisli di Nicea (325 M). Konsili Nicea ini diadakan sebagai tanggapan atas ajaran Arius. Arius percaya bahwa Allah Bapa lebih besar daripada Allah Anak, yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh Kudus.[14] Konsili Konstantinopel (berlangsung dari bulan Mei - Juli 381 M), konsili ini membenarkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya. Kondisi di Efesus (431 M), dan konsili Chalcedon (451 M). Akibat dari terjadinya perdebatan teologis dalam beberapa konsili tersebut adalah terpecah-belahnya Kristen di Timur. Kristen timur menyebutnya dirinya sebagai Kristen Ortodoks timur, terdapat di Rusia dan Balkan, sedangkan Kristen di Barat yang bernama Kristen Katolik yang berpusat di Roma. Kristen Katolik di Barat telah memakai sistem kepausan, dimana Leo Agung (440-461 M) menjadi Paus yang pertama.[15] Sekitar abad ke 7 M gerakan Islam muncul sebagai kekuatan baru dibidang agama dan politik, di wilayah timur tengah.
“Hingga abad ke 20 Kekristenan mulai masuk ke zaman modern, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi canggih semakin berkembang pesat. Situasi dunia saat itu banyak mengalami perubahan besar dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya, kususnya pasca perang dunia I pada tahun 1914-1918. Keadaan bertambah buruk dengan terjadinya perang dunia II pada tahun 1939-1945. Peristiwa-peristiwa dunia itu turut berpengaruh terhadap kekristenan. Dalam kekristenan waktu itu telah bermunculan berbagai ilmu perang yang sering kali konflik satu dengan yang lainnya.”[16]


B.                                      Kasih Dari Sudut Pandang Kristen

  1. Dasar Alkitabiah Mengenai Kasih
Dalam keimanan Kristen, kasih adalah hukum, dan sebuah hukum bersifat mengikat.[17] Inti dari keseluruhan Alkitab adalah kasih. Yang pertama adalah: Hukum agar umat-Nya mengasihi Allah, dan ini bukannya kasih sayang mendalam kepada pribadi Allah, melainkan lebih merupakan perintah kesetiaan. Dalam bahasa Ibrani, kata itu ditemui dalam surat perjanjian kuno, di mana seorang raja yang ditaklukkan diperintah untuk 'mengasihi' (artinya setia kepada) maharajanya. Yang Kedua, adalah Hukum agar umat-Nya mengasihi sesamanya manusia. Allah menciptakan manusia dengan kodrat untuk mengasihi adalah karena tanpa kasih, manusia tidak dapat mencapai Sorga (keselamatan). Begitu pentingnya kasih ini, sehingga rasul Yohanes mengatakan "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut." (1 Yohanes 3:14b).

a.                  Dalam Perjanjian Lama
1.                  Dari Sisi Etimologi
Kata kerja (ahab) dan kata benda (aheb) adalah kata yang paling banyak digunakan dalam Perjanjian Lama (bahasa Ibrani), untuk menunjuk pada istilah kasih. Elwel mengatakan : “kasih adalah sesuatu yang betul-betul penting”. Kata ini dipakai sekitar 200 kali dengan menggunakan kata kerja “ahab” dan kata benda “aheb”, digunakan sekitar 30 kali.[18] Kata “ahab” sering digunakan untuk menyatakan kasih Allah kepada manusia. Oleh karena itu Kittel mengatakan:
“dalam budaya orang Ibrani, penguccapan kata ahab mengingatkan terminologi dasar dari kasih. Di samping itu, ini dikuatkan oleh teks para rabi yang dituliskan dalam bahasa Aram. Kasih menunjukkan hubungan antara Tuhan dan manusia, tetapi secara khusus antara Tuhan dan umat Tuhan”.[19]

Kata kerja “ahab” inilah yang diterjemahkan oleh LXX menjadi “agapao” dan “aheb” diterjemahkan menjadi “agape”[20] dalam penggunaannya “ahab” lebih menunjuk pada pemeliharaan Allah bagi umat-Nya (Ulangan 1:30-31), dan Ia menuntut supaya umat-Nya juga mengasihi-Nya (Ulangan 6:4-5).[21] Selain itu “ahab” juga dipakai untuk menggambarkan hubungan antara anggota keluarga, seperti tuan dan hamba, orang tua dan anak, maupun sikap terhadap orang asing, janda-janda dan anak yatim (bnd Ulangan 15:2; 23:15-16; 14:28-29; 16:11-14; 24:7-22) dan juga dipakai dalam hubungan antara pria dan wanita.[22] Brown mengatakan dapat menunjuk kepada kedua belah pihakdan segala sesuatunya dalam hubungan manusia satu dengan manusia lainnya.[23]

2.                  Dari Sisi Historis
Sejarah hukum kasih dalam Perjanjian Lama tidak dapat dilepaskan dari sejarah hukum taurat yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel melalui hamba-Nya Musa. Kasih yang diajarkan Yesus dalam Kitab Injil Matius adalah ringaksan sepuluh hukum Tuhan yang diberikan kepada bangsa Israel melalui Musa di gunung Sinai (Keluaran 20:1-17). Dan pada dasarnya sepuluh perintah Allah di dalam Taurat yang diberikan kepada Musa merupakan inti historis dalam Perjanjian Lama mengenai dasar hukuk Kasih.[24] Hukum taurat ini diberikan kepada bangsa Israel ketika mereka keluar dari tanah Mesir (Keluaran 6:2-8; 19:3-6). Karena kasih Allah kepada bangsa Israel begitu besar, maka Allah melepaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir dengan Tujuan, Allah hendak membuat mereka menjadi bangsa yang melayani-Nya. Untuk itu Allah berkenan menyatakan diri-Nya dalam pengalaman sehari-hari dengan bangsa Israel. Dan Allah membutikan diri-Nya sebagai Allah yang bertindak dengan penuh kasih dalam sejarah kehidupan manusia, sehingga tujuan-Nya untuk memilih bangsa Israel dapat tergenapi.[25]
            Kemudian dalam proses yang selanjutnya, Tuhan memberikan sepuluh hukum di gunung Sinai kepada Musa untuk mengatur kehidupan Israel sebagai sebuah bangsa yang baru dalam menjalani kehidapan mereka yakni dalam menjalin hubungan dengan Tuhan dan sesama mereka. Hukum ini merupakan dasar dari seluruh hukum yang ada pada bangsa Israel dan asas-asas yang terkandung di dalamnya merupakan pedoman hidup Israel sebagai umat pilihan Allah, dimana perintah tersebut harus dilaksanakan oleh setiap orang yang merupakan bagian dari bangsa itu. Pada perkembangan selanjutnya hal ini dijelaskan secara lebih eksplisit dalam kitab Imamat dan Ulangan.
            Kitab Imamat merupakan kitab ketiga dari Pentateukh. Ini merupakan buku pedoman yang berisi peraturan-peraturan dan tugas-tugas keimaman, juga sebagai buku panduan yang berisi instruksi-instruksi yang menguraikan “kehidupan kudus” yang praktis bagi umat Israel,[26] yang memberitahukan bagaimana umat yang berdosa dapat mendekati Allah yang kudus dan bagaimana mereka dapat hidup kudus.[27] Kitab ini berasal dari penyataan Allah yang diberikan kepada Musa di kemah pertemuan (1:1) dan di gunung Sinai (25:1). Karena itu keseluruhan kitab Imamat terdiri dari hukum-hukum yang diucapkan oleh Allah sendiri.
            Konteks pernyataan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dalam Imamat 19:18, tidak terlepas dari keseluruhan pasal tersebut. Di mana dalam pasal tersebut membahas tentang kekudusan secara spesifik, yakni perbuatan-perbuatan orang-orang kudus,[28] di mana Allah berbicara secara langsung melalui Musa agar perintah-perintah-Nya dapat disampaikan kepada umat Israel. Jadi perintah ini berhubungan erat dengan perbuatan orang-orang kudus. Maksudnya, apabila umat Allah mengasihi Allah dan sesamanya dengan segenap hati, berarti mereka sedang menuju hidup yang kudus. Dikatakan dalam kitab Imamat 19:33, bahwa sesamamu manusia itu termasuk orang-orang asing “yang tinggal padamu di negerimu” sedang orang Israel sendiri masih mengingat ketiga mereka tinggal sebagai orang asing di Mesir.[29] Sehingga pernyataan dalam kitab Imamat 19:18 adalah untuk mengingatkan sekaligus menegur bangsa Israel agar tidak memperlakukan hal yang tidak baik kepada orang-orang asing yang tinggal diantara mereka, tetapi sebaliknya, mereka harus mengasihi orang-orang tersebut sebagaimana mereka mengasihi dirinya sendiri. Ini merupakan bagian penting yang ditekankna secara serius oleh Allah.
            Kitab Ulangan, kitab Musa yang kelima ini berbeda dengan empat kitab yang lainnya. Kitab ini berisi banyak hal yang penting dan menyajikan percakapan atau amanat penting dari Musa diakhir kehidupannya. Groenen mengatakan:
“Perbedaan yang paling mencolok dari antara kitab Ulangan dan Keluaran, Imamat, Bilangan Ialah, Ulangan tidak merupakan kisah melainkan wejangan”.[30]

Wejangan itu ialah mengajak dan menasehati umat Allah agar tetap setia pada perjanjian yang diadakan di gunung Sinai,[31] sekaligus memperbaharui perjanjian ini dengan generasi yang baru,[32] dan Musa kembali mengulangi ke-sepuluh hukum Taurat karena di dalamnya terkandung berbagai ketetapan utama dari perjanjian itu. Tujuan Musa memperbaharui perjanjian itu adalah agar peerjanjian itu tetap terpelihara dan diajarkan turun temurun, dari generasi yang satu ke generasi yang selanjutnya.
Pernyataan Yesus yang berbunyi : Kasihilah Tuhan Allahhmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu, secara jelas tertulis dalam pasal 6:5. Dan ini merupakan perintah dasar yang utama. Schultz Mengatakan :
“Perjanjian Sinai dengan segala hukum dan perjanjiannya tetap didasarkan atas kasih, dan ketaatan Israel seharusnya terbit dari kasih mereka kepada Allah”.[33]

Jadi kasih merupakan dasar dari semua hukum dan perintah. Sebab banyak hukum dan perintah dalam Perjanjian Lama yang mengatur hubungan masyarakat, hubungan antar sesama, dan antar umat Alalh. Karena itu tidak ada satupun aspek dalam hukum Taurat dan perintah lain dalam hukum tersebut terluput dari kasih.[34] Melalui hukum dan perintah mengenai mengasihi Allah, merupakan bagian dari bukti nyata manusia mengasihi sesamanya.[35] Dengan kata lain, kasih kepada Allah akan tampak jelas dalam tingkah laku terhadap sesama manusia.
Jika dicermati dengan seksama, isi keseluruhan kitab Perjanjian Lama ialah penggambaran kasih Allah terhadap Umat-Nya. Dalam sejarah Perjanjian Lama mulai dari kitab Kejadian hingga pada kitab Maleaki, semuanya menceritakan tentang kasih Allah  yang dinyatakan secara jelas dalam kehidupan sehari-hari bangsa Israel. Dan atas dasar kasih Allah ini, maka semua manusia akan menjadi saudara, tidak ada perbedaan suku bahasa dan lain sebagainya. Mengasihi Allah akan terbukti dengan cara mengasihi sesama manusia, dan ini merupakan perwujudan kasih manusia terhadap Allah.[36]

3.                  Dari Sisi Teologis
Pembahasan ini bertolak dari kitab Ulangan 6:5, yang berbunyi : “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Dan dalam Imamat 19:18 yang berbunyi: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Hal ini adalah perintah Allah bagi setiap orang percaya untuk ditaati dan dilakukan. Kasih menuntun hidup mansia karena ada hukum kasih, dan hukum itu menyatakan secara rinci apa yang dimaksud dengan kasih.[37]
Yesus menyimpulkan dengan sangat jelas dalam Injil Matius 22:37-39, bahwa sesungguhnya seluruh hukum Taurat tercakup dalam dua perintah ini, yaitu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Seperti penjelasan di atas, bahwa dua hal tersebut merupakan perintah Allah yang utama dan yang sangat penting, sebab kedua hal tersebut telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, untuk dapat memahami hukum kasih ini secara utuh, maka seseorang harus mengerti tujuan Allah untuk alam semesta ini.
Alkitab dimulai dengan suatu penjelasan mengenai penciptaan dimana Allah adalah figur pencipta nya. Dan pada pundak kreativitas Allah tersebut ialah terbentuknya manusia. Walaupun manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, namun dalam kitab Kejadian juga menceritakan tentang kejatuhan manusia kedalam dosa yang kemudian mengakibatkan penjatuhan hukuman terhadapa mereka. Ditengah kejatuhan tersebut, Allah dengan penuh kasih mengulurkan tangan-Nya untuk membawa manusia kembali kepada-Nya, sehingga tidak terpisahkan oleh jarak yang diakibatkan oleh dosa mereka. Dalam hubungan-Nya yang penuh kasih kepada manusia tersebut, Allah mengampuni dosa mereka. Allah melakukannya karena Dia adalah Allah yang penuh dengan kasih, penyayang panjang sabar serta melimpah dengan kesetiaan (Keluaran 3:4-6). Hal ini juga dapat dibuktikan melalui penebusan-Nya, yang secara langsung berhubungan erat dengan penyelamatan Israel dari negeri Mesir dan hal ini sekaligus contoh terbesar karya penyelamatan-Nya dalam Perjanjian Lama. “Penebusan” dalam Pentateukh biasanya dihubungkan dengan pembebasan dari perbudakan (Keluaran 6:6). Berhubungan dengan ini, kitab Ulangan mengatakan bahwa Allah menebus engkau dari rumah perbudakan (Ulangan 7:8; 13:5).
Hal ini dapat juga di lihat dari peristiwa dimana bangsa Israel mengeraskan hati dan kemurtadan mereka ketika mereka memutuskan untuk membuat sebuah patung sembahan dari emas yang berbentuk anak lembu. Disini Allah tetap menyatakan kasih-Nya bagi mereka. Memang Israel dihukum karena dosa dan pelanggaran yang mereka perbuat, tetapi Allah tetap berpegang pada perjanjian dan kasih setia-Nya (Ulangan 7:9; Keluaran 20:6 sampai kepada beribu-ribu keturunan). Dalam Yeremia 10:24, dikatakan Tuhan menghukum umat-Nya tidak dengan tujuan untuk membinasakan mereka, tetapi Ia menghukum “menurut hukum” yaitu sesuai keadilan-Nya yang bersifat kesetian yang tetap.[38] Dengan demikian dapat dilihat bahwa kasih kepada Allah dalam Perjanjian Lama menuntut suatu kesungguhan. Allah tidak ingin dipermainkan oleh umat-Nya dengan melakukan apa yang keji di mata Tuhan, yaitu dengan membuat patung-patung berhala, menyembah ilah-ilah lain, sebab Ia adalah Allah yang cemburu.

b.                  Dalam Perjanjian Baru
1.                  Dari Sisi Etimologi
Kata “aheb” dalam Alkitab Yunani diterjemahkan menjadi “agape”. Dalam bahasa Yunani sehari-hari, kata itu tidak dipakai sebagai kata benda tetapi lebih dikenal baik sebagai kata kerja (agapao). Agapao berarti “menyambut dengan sayang”, kata ini mengandung arti kecenderungan kepada seseorang yang bersifat positif.[39] Barclay mengtakan : kata ini menunjuk kepada kebajikan yang tidak kenal akhir, kebaikan hati yang tidak mengenal batas dan kehendak baik yang tidak kenal menyerah.[40]
Dalam Perjanjian Baru, kata ini adalah kata yang paling sering digunakan yakni sebanyak 263 kali.[41] Marx mendefinisikan “agape” sebagai berikut :
“Kasih agape tidak memandang bulu, menghasihi semua, tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. Agape ditunjukkan kepada semua manusia, termasuk juga orang-orang kecil atau orang-orang biasa”.[42]

Dalam hal ini, Tu’u menegaskan pula bahwa :
“Biasanya kalau orang berbicara mengenai kasih agape ini, maka yang dibicarakan ialah kasih Allah. Kasih yang mengalir dan bersumber dari Allah sendiri. Kasih agape tidak pernah pudar, tidak pernah kering dan habis. Kasih agape laksana mata air yang tidak pernah habis-habisnya.[43]

Hal ini dapat dibuktikan melalui peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, dimana Allah tetap mengasihi manusia melalui pengampunan-Nya. Selain daripada agape, Perjanjian Baru juga menggunakan kasih ini dengan istilah Storge, kata ini dipakai khusus bagi hubungan sebuah keluarga. Kata ini dipakai untuk menggambarkan kasih orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya.[44] Juga dipakai istilah Phileo yang memiliki arti kasih persaudaraan, antara sesama teman dalam pergaulan sehari-hari.[45] Kasih ini mengandung kehangatan perasaan dan kesetiakawanan.[46] Dan yang lain menggunakan kata Eros. Kata inisering digunakan dalam hal yang berkaitan dengan moralitas.[47]

2.                  Dari Sisi Historis
Pada kenyataannya banyak, banyak peristiwa yang terjadi dalam Perjanjian Baru yang dapat dimengerti dengan baik apabila sejarah yang panjang itu diketahui. Awalnya adalah penciptaan bumi dan segala isinya, termasuk Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Ketika mereka jatuh ke dalam dosa akibat ketidak taatan terhadap perintah Allah, maka alam semesta yang menjadi tempat kediaman merekapun menjadi rusak. Dari sinilah karya penyelamatan Allah mencapai puncak, pada kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dimulai. Ketika Perjanjian Baru ditulis, hampir seluruh dunia beradap, kecuali beberapa kerajaan yang dipimpin oleh kekaisaran Romawi.[48] Menjelang tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Herodes (yang pada waktu itu memerintah sebagai raja), yang dipenuhi dengan persaingan antar kelompok, yaitu diantara sesama anggota keluarganya sendiri yang berusaha merebut kekuasaan yang dimilikinya. Memang bagi orang-orang Romawi Herodes merupakan raja yang terpercaya dan hamba yang setia, tetapi bagi orang-orang Yahudi ia adalah tirani yang buas dan serakah. Di bawah kepemimpinannya yang diktatorial, orang-orang Yahudi sering mengalami penindasan dan aniaya. Karena segala kejadian itu, maka muncullah kerinduan bagi orang-orang Yahudi terhadap seorang raja yang dijanjikan oleh Allah. Dalam menggadapi situasi yang sedemikian, orang Israel hanya memiliki satu pengharapan yaitu bahwa Allah akan mengirim seorang mesias yang akan membebaskan mereka dari kuk penindasan itu.[49] Dari sinilah penyelamatan Allah melalui anak-Nya Yesus Kristus dimulai. Sejak dari awal pelayan-Nya dalam memberitakan Injil kerajaan Allah, Ia membuat tanda-tanda ajaib, menyembuhkan orang-orang sakit, memberitakan kabar keselamatan, hingga pada puncaknya yakni kematian-Nya di atas kayu salib. Hal ini Ia lakukan hanya untuk menebus dosa manusia dan mendamaikan mereka dengan Allah, semua tindakan Allah ini didasari oleh kasih yang mewarnai setiap pelayanan Yesus.
Dalam penelitian Perjanjian Baru, disimpulkan bahwa walaupun setiap pengarang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang berbeda-beda namun mereka memiliki satu dasar bersama, baik para sinoptisi, maupun Paulus dan Yohanes. Dasar bersama itu adalah orientasi yang teologis atau kristologis, yang menjadi kaidah dan dasar etika mereka, yaitu bahwa Allah bertindak menyelamatkan melalui Yesus Kristus.[50]  Baxter mengatakan :
“Subyeknya yang utama adalah Tuhan Yesus Kristus. Obyeknya yang utama adalah keselamatan manusia. Proyeknya yang utama ialah pemerintahan Yesus Kristus yang deinitif dalam kerajaan yang tidak terbatas dan berakhir”.[51]

Kemudian Baxter mengatakan pula demikian:
           
            “Dengan demikian Kristus adalah subyek dari seitiap kitab Perjanjian Baru. Ia yang dalam Perjanjian Lama sebagai nubuatan, sekarang muncul dari sejarah. Dia yang dalam Perjanjian Lama merupakan harapan yang superior, dalam Perjanjian Baru merupakan fakta yang imperior. Apa yang dalam Perjanjian Lama dinantikan, dalam Perjanjian Baru merupakan yang dialami. Yang dipersiapkan merupakan yang terlaksana. Yang dahulu tersembunya sekarang dinyatakan. Yang lama diramalkan sekarang digenapi”.[52]

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa Kristus merupakan Tokoh utama dalam Perjanjian Baru dan Dia adalah obyek dari pemberitaan dalam Perjanjian Baru. Maka tidaklah heran jika karya penebusan-Nya bagi umat manusia merupakan inti dari kitab-kitab Perjanjian Baru. Di atas kayu salib itulah puncak kejahatan manusia dan puncak kasih Allah. Karena begitu besar kasih Allah bagi umatnya yang berdosa, maka diberikan-Nya anak-Nya sebagai tebusan bagi dosa manusia. Meskipun Allah benci terhadap dosa dan tidak dapat mengasihi dosa tetapi Ia sungguh-sungguh mengasihi manusia yang berdosa.

3.                  Dari Sisi Teologis
Keyakinan bahwa Allah adalah yang pengasih, merupakan keyakinan yang mendasari semua bagian dalam Perjanjian Baru. Dalam kitab-kitab Injil sinoptik, kasih Allah lebih dipandang sebagai hal yang sudah diterima daripada sebagai hal yang perlu diuraikan.[53]
Dalam tulisan-tulisan Yohanes, kasih Allah kepada anak-Nya merupakan bukti utama bahwa kasih adalah sifat Allah yang kakiki (Yohanes 3:35; 5:20; 10:17; 15:9; 16:27; 17:23-24). Yesus sangat menyadari bahwa kasih Bapa kepada-Nya merupakan dasar dan pola kasih Allah kepada umat-Nya (Yohanes 17:23). Dalam ajaran Yesus, sangat penting bahwa yang diinginkan oleh manusia adalah menerima kasih Allah (Yohanes 14:21-23). Dalam perikop tentang “Hukum yang Terutama”, Yesus menyatakan bahwa perintah pertama dan terutama adalah “Kasihilah Tuhan Allah mu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Yang dimaksud dengan mengasihi Allah dengan “segenap” , seperti yang diperintahkan oleh Yesus ini, menurut Kingsbury adalah:
a) Memberikan kepada-Nya kesetiaan utuh; b) melayani Dia sampai harus menyerahkan diri sekalipun; c) menyerahkan segala milik (kedudukan dan harta) sebagai tanda kesetiaan seseorang kepada-Nya.[54]

Dan perintah kedua yang sama dengan yang pertama adalah, “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Contoh klasik mengenai mengasihi sesama terdapat dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10: 30-37). Melalui pertanyaan mengenai siapakah sesama manusia, maka ahli Taurat itu bermaksud mencari tau batas-batas kewajibanya untuk mengasihi, sejau mana dia wajib untuk bertindak bila seseorang membutuhkan pertolongan dan sejauh mana dia boleh berdiam diri.[55] Tetapi maksud Yesus yang sesuingguhnya adalah bahwa kewajiban untuk mengasihi tanpa ada batasan-batasan. Dengan demikian, seharusnya kasih tidak dibatasi oleh kebiasan-kebiasaan, dan prasangka-prasangka, melainkan bebas mengatasi batas-batas jalan yang menuju sesamanya. Dengan kata lain, orang yang mengasihi tidak dapat menjangkau setiap manusia manapun yang membutuhkan bantuan dari sesamanya.
Hukum Yesus agar mengasihi musuh dan mereka yang menganiaya sesamanya, berbuat baik kepada mereka yang membenci sesamanya, agar memberkati mereka yang mengutuki sesamanya sekaligus mendoakan mereka, menyatakan bahwa kasih tidak hanya dibatasi oleh perasaan hati. Dalam kedua perintah inilah terkandung dasar dan maksud semua hukum Taurat dan seluruh kehendak Allah. Maka Yesus mengembangkan pendapat bahwa mematuhi hukum Taurat dan melakukan kehendak Allah pada hakekatnya adalah selalu merupakan perbuatan kasih.[56]
Paulus juga memiliki pemikiran yang sama. Dalam surat Roma (yang paling menekankan kebenaran dan keadilan Allah), ia juag berbica mengenai kasih Allah dengan kepastian yang sama. Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati manusia melalui Roh Kudus (Roma 5:5). Pernyataan ini dengan jelas sekali memperlihatkan kasih Allah terhadap manusia. Kasih ini terlihat paling jelas dalam karya Allah menyelamatkan orang-orang berdosa (Roma 5:8). Hal ini jelas dan nyata, terutama karena Paulus melihat salib Kristus sebagai sesuatu yang sangat penting.[57]
Akibatnya bagi orang-orang percaya ialah bahwa mereka tidak akan dapat dipisahkan dari kasih tersebut (Roma 8:39). Kasih membeuat mereka lebih daripada orang-orang yang menang (Roma 8:37). Ungkapan yang paling jelas mengenai sifat Allah yang penuh kasih teradapat dalam surat I Yohanes yang berkata demikian : “Allah adalah kasih” (I Yohanes 4:8,16). Hal ini kembali menegaskan bahwa kasih merupakan sifat hakiki dari Allah.
Maka sebagai kesimpulannya, bahwa dalam Perjanjian Baru, “kasih” dianggap sebagai pokok yang mendasari pendekatan Allah kepada manusia. Pengorbanan-Nya merupakan bukti yang paling konkrit bagi kasih-Nya untuk manusia, sehiungga tdak ada pembuktian kasih yang lebih mahal dari apa apa yang telah diberikan Allah melalui kematian anak-Nya yang tungga demi menebus dan mendamaikan Allah dengan umat-Nya.

4.                              Aplikasi Hukum Kasih

a.                               Kasih Terhadap Allah
Dalam perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hidup untuk mengasihi Allah merupakan kewajiban. Para nabi sering berbicara tentang kasih, Yesus Kristus berbicara tentang kasih, rasul-rasul (Paulus dan Yohanes) berbicara tentang kasih, gereja-gereja berbicara tentang kasih. Hal ini merupakan bukti bahwa kasih kepada Allah dan kasih terhadap sesama menjadi ciri utama dari ajaran orang Kristen. Pada masa Yesus, telah terjadi krisis kasih dalam kehidupan bangsa Israel. Memang mereka mentaati hukum Taurat, tetaspi hati yang mengasihi Allah mulai pudar dari mereka. Dalam Matius 22:37, secara jelas Yesus memerintahkan agar manusia mengasihi Allahnya dengan segenap hati,l dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Ini menunjukkan bahwa berarti kasih merupakan harus diutamakan dan hal yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia.
Semua manusia dipanggil untuk hidup dalam kasih dan mengashi dengan segala yang dimilikinya. Inilah yang diminta oleh Allah dari semua orang percaya. Kasih ini haruslah kasih yang sepenuh hati dan menguasai seluruh keadaan manusia, yaitu kasih yang dibangkitkan oleh kasih-Nya kepada manusia yang menyebabkan Allah mengutus anak-Nya yang tunggal demi kepentingan manusia dan meliputi kesetiaan dan keterikatan pribadi dengan Allah.[58] Berikut ini merupakan beberapa bentuk kasih manusia kepada Allah.


1.      Dalam Beribadah
Ada sebagian orang menganggap bahwa yang dimaksud dengan ibadah apabila seseorang setiap kali datang ke gereja.  Bertolak dari kondisi yang seperti ini, maka di sini akan ditunjukkan ibadah yang sesuai dengan standar Alkitab. Ibada merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan yang didasari oleh semua orang percaya sebagai sebuah kewajiban yang hakiki untuk dijalankan. Dan merupakan cara yang paling jelas bagi gereja untuk memenuhi tujuannya yakni menghormati Allah.[59]
Dalam penjelasan di bawah ini, ibadah akan dibagi menjadi dua bagian yaitu ibadah secara pribadi dan ibadah secara bersama.
a.       Ibadah Secara Pribadi
Alkitab mencatat orang-orang yang selalu beribadah secara pribadi kepada Allah, diantaranya: Daniel yang berdoa tiga kali sehari secara pribadi (Daniel 6:11), Daud mencari Tuhan pada pagi hari dan malam hari (Mazmur 5:4; 42:9). Kitab Tawarikh 16:11 mengatakan “carilah wajah-Nya selalu”. Beberapa contoh di atas merupakan prinsip bahwa ibadah dapat terus berlangsung kapan saja, di mana saja, tanpa dibatasi apapun. Namun demikian perlu adanya waktu khusus setiap hari, dimana seseorang dapat memberikan waktunya secara khusus untuk berkomunikasi secara pribadi dengan Tuhan, [60] sehingga dia dapat mengutarakan seluruh isi hatinya kepada Tuhan. Bagi seorang Kristen yang mengasihi Allah, hal ini tidak akan menjadi beban baginya, tetapi menjadi kebutuhan pokok dalam hidupnya.

b.      Ibadah Secara Bersama
Alkitab tidak hanya menaruh ibadah secara individual. Seseorang bukan saja bait Allah secara individu, sebab persekutuan bersama juga merupakan bait Allah. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang secara pribadi da\tang kepada Allah di “bait Allah pribadi”, ia juga tahu bahwa ia juga harus beribadah bersama didepan umum. Rasul Paulus berkata
“Janganlah kita menjauh dari pertemuan-pertemuan ibadah kita , seperti dibiasakan oleh beberapa oranga, tetapi marilah kita saling menasehati dan semakin giat menjelang hari Tuhan yang mendekat (Ibrani 10:24-25)”.

Maka penting bagi orang percaya saat ini untuk berkumpul bersama-sama seperti yang dilakukan orang-orang Kristen yang mula-mula. Oleh sebab itu orang-orang Kristen perlu untuk bersekutu dalam pertemuan-pertemuan ibadah supaya mereka semua bisa saling menasehati, menegur dan memberi dorongan seorang dengan yang lain.[61] Yesus mengatakan, “sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaku di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20).
            Ada kekuatan dalam persatuan. Kitab Pengkhotbah 4:12 berbunyi demikian, “Dan bila mana satu orang dapat dikalahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan”. Kekuatan persatuan berlaku juga dalam hal-hal rohani.
2.      Dalam Pemberitaan Injil
Pemberitaan Injil merupakan bagian utuh dari rencana misi Allah yang bertujuan membawa keselamatan bagi manusia. Allah telah memberikan “mandat misi” bagi umat-Nya untuk menjadi mandataris-Nya. Sebagai mandataris dari misi Allah, umat Tuhan diberikan tanggung jawab untuk mebawa jiwa kepada Allah.[62] Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka Allah memberikan janji penyelamatan kepada manusia degan tujuan terpenting yaitu, untuk membebaskan manusia dari dosa (Kejadian 3:15; Galatia 4:4; Matius 1:21; I Timotius 2:5). Pembebasan ini direncanakan Allah untuk dilakukan melalui Yesus Kristus (I Petrus 1: 18; 2:18-25; Roma 1:16-17). Misi ini kemudian dilanjutkan oleh Yesus yang Ia sampaikan kepada murid-murid-Nya sebagai amanat agung:
“Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:18-20).

Perintah ini berlaku bagi semua orang percaya yang sudah menerima Yesus sebagau Tuhan dan juru selamatnya. Dan memeritakan Injil merupakan sebuah kewajiban, dilakukan sesua dengan  kemampuan dan karunia yang ada padanya.[63]  Kewajiban ini tidah hanya sampai mengajak mereka utuk meneriuma Yesus, tetapi wajib menjadikan mereka menjadi murid Yesus juga. Yesus memrintahkan: “Pergilah dengan penyertaan-Ku. Di dalam pribadi Roh Kudus, Yesus berjanji akan menyerta orang percaya sampai pada akhir zaman.[64] Dan injil harus diberitakan kepada siapa saja, tanpa memilih-milih suku atau budaya tertentu.[65]

b.                Kasih Terhadap Sesama
Perlu untuk diketahui bahwa mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri bukanlah dua hal yang saling bertentangan, tetapi sebaliknya merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan dan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Seseorang tidak akan mungkin bisa mengasihi sesamanya jika ia tidak mengasihi dirinya sendiri. Kemudian jika seseorang dapat mengasihi dirinya sendiri secara wajar maka dalam dirinya akan timbul kasih bagi sesama, apalagi bagi orang Kristen yang telah merasakan kasih Allah dalam kehidupannya. Pada hukum yang kedua ini (mengasihi sesama) , sebenarnya manusia diminta agar menempatkan hak-hak dan kebutuhan sesamanya pada posisi yang sama seperti dirinya sendiri. Terdapat juga penjelasan yang sama dalam Matius 7:12, yaitu: “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Jadi sesama manusia merupakan bagian dari diri sendiri. Sehingga ketika seseorang mengasihi sesamanya, maka ia akan memberi takaran yang sama dengan ketika ia mengasihi dirinya sendiri. Ketika seseorang mengasihi sesamanya, sebenarnya ia sedang mengupayakan sesuatu yang baik bagi sesama dan dirinya sendiri. Sama seperti seseorang secara natural mencari apa yang baik dan berguna bagi dirinya sendiri. Hal yang mencirikan seseorang mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri dapat dilihat dari sikap kepeduliannya; kepedulian terhadap orang-orang susah, orang-orang yang membutuhkan pertolongan, orang yang sedang menderita kesukaran adalah orang-orang yang ditempatkan Allah untuk manusia dapt menjadi sesama bagi mereka. Sikap kepedulian ini dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini:
1.      Kepedulian Terhadap Orang Miskin
Kemiskinan merupakan istilah yang relatif. Pengertian semula dari istilah ini menggambarkan syarat kehidupan manusia secara lahiriah, ekonomi dan sosial. Kenyataan hidup yang digambarkan dalam pengertian ini tentunya sangat bergantung pada sosial-ekonomi pada umumnya dan tempat yang bersangkutan itu sendiri secara khusus. Shott mendeffinisikan istilah “miskin” ini dalam tiga keadaan, yaitu pertama; ditinjau dari segi ekonomi, ada orang-orang yang miskin karena ketiadaan materi. Kedua, ditinjaui dari segi sosial, ada orang yang miskin akibat penindasan, mereka merupakan korban dari ketidak adilan dan tidak berdaya. Ketiga, ditinjau dari segi spiritual ada orang yang miskin yang rendah hati, yang menyadari ketidak beradaannya dan hanya mengandalkan Tuhan.[66]  Pada zaman Yesus mayoritas masyarakat merupakan orang-orang miskin.[67] Hal ini dapat dilihat dari orang-orang yang hidupnya bergantung pada sedekah (Markus 10:21); Lazarus seorang pincang yang meninggal dalam kemiskinan (Lukas 16:19); juga para pengemis yang berbaring kelaparan di pinggir jalan yang diundang datang ke perjamuan (Lukas 14:13, 21). Ada juga pengemis lumpuh yang tergeletak di depan gerbang yang menanti sedekah dari pengunjung bait Allah (Kisah Para Rasul 3:1-11). Semua ini merupakan cerminan warna asli pada zaman Yesus dan semua orang miskin ini merupakan bagian dari para pengikut-Nya. Memang tidak dapaty dipastikan dalam setiap kasus apakah orang miskin itu pengemis, orang pengangguran atau rakyat jelata yang melarat. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa meraka adalah orang miskin dan tidak berdaya. Stegemann mengatakan bahwa “mereka adalah orang yang sangat miskiin, yang berjuan untuk mengatasi penderitaannya demi memperjuangkan hidup yang lebih lama lagi”.[68]
Keadaan saat inipun masih diwarnai oleh kemiskinan dan penderitaan dari orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dan sikap peduli dari sesamanya. Disinilah hukum kasih teerhadap sesama harus dimengerti dari segi belas kasihan. Sikap belas kasihan merupakan bukti dari kepedulian. Kepedulian yang dimaksud dalam hal ini, tidak semata-mata hanya kepada hal-hal materi, tetapi lebih kepada perbuatan yang lahir dari kasih dan belas kasihan ilahi. Sehingga waktu mereka ditolong bukan hanya pada waktu mereka membutuhkan pakaian, uang dan hal lainnya yang bersifat materi, tetapi kepada mereka juga diberitakan tentang kabar keselamatan tentang “kerajaan Allah” (Matius 11:5). Orang-orang miskin seperti ini juga sangat berharga di mata Allah, karena itu, sesungguhnya sangat perlu untuk memperdulikan mereka dalam kesulitan-kesulitan hidup yang mereka alami.

2.      Kepedulian Terhadap Orang Sakit
Penyakit bukanlah hal sulit untuk ditemukan. Dalam lingkungan sehari-hari, “orang sakit” sering dijumpai bahkan hal itu bisa menimpa siapa saja. Supaya tidak menimbulkan kebingungan bagi pembaca, penulis akan menjelaskan mengenai maksud orang-orang sakit. Orang-orang sakit yang dimaksud oleh penulis adalah orang-orang yang sakit secara fisik. Orang-orang yang berada dlam kondisi seperti ini merupakan orang yang lemah, orang yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri secara maksimal,[69] bahkan jika sakit yang dideritanya tergolong sakita yang akut, maka orang tersebut biasanya tidak berani menghadapi kenyataan yang menimpa dirinya, putus asa, depresi, dan bunuh diri, bahkan ironisnya ia menyalahkan Allah yang dianggapnya tidak adil. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah banyak orang yang meninggal karena penyakit. “lebih banyak orang yang meninggal karena penyakit daripada penyebab lain, seperti kecelakaan, bunuh diri dan lain sebagainya.[70]
Dengan adanya kenyataan seperti ini sebagai orang-orang yang telah menerima kasih Allah, kasih tersebut harus dipraktek kan kepada mereka yang merupakan sesama seperti yang dikatakan Yesus. Sakit penyakit yang berat sering menjadi sumber tekanan jiwa bagi penderitanya, [71] di sinilah peranan kepedulian terhadap sesama sangat dibutuhkan. Mereka perlu dorongan yang meyakinkan mereka untuk tetap bertahan dengan sikap optimisme bahwa mereka dapat disembuhkan dan ada orang-orang yang siap untuk menolong. Iman dan kerohanian mereka juga perlu dikuatkan sehingga mereka tidak menjadi tawar hati dan kecewa. Melalui sikap kepedulian seperti ini akan membuat mereka tetap tegar dalam menghadapi hidup mereka. Sikap peduli terhadap orang sakit seperti ini juga merupakan wujud dari kasih kepada sesama. Ketika seseorang sedang melayani orang yang sakit, sesungguhnya dia sedang melayani dirinya sendiri. Inilah maksud dari perintah kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.

3.                  Kepedulian Terhadap Orang Yang Berdukacita
Peristiwa tentang kematian Lazarus bukanlah peristiwa yang asing bagi orang Kristen. Pada saat Yesus mendengar tentang kematiannya, Dia juga pergi ke Bethania, berdukacita bahkan menangis (Yohanes 11:35). Dukacita merupakan beban perasaan yang sulit untukl ditanggung, meskipun itu merupakan kematian yang dilalui melalui penderitaan yang lama. Biasanya orang-orang yang berdukacita mengalami beberapa macam pengalaman emosi seperti gelisah, takut, kesepian, kemaranhan, kebingungan, kecil hati, bahkan keputus asaan.[72] Disamping dukacita yang disebabkan kematian ada juga hal lain yang dialami seseorang yang dapat menyebabkan kesedihan luar biasa, misalkan kehilangan salah satu bagian tubuh, kehilangan potensi dan kemampuan (misalnya tidak dapat bekerja lagi karena mengalami kelumpuhan), kehilangan kekayaan (bangkrut), perceraian suami istri. Orang-orang semacam ini sangat membutuhkan rasa kepedulian dari sesamanya, butuh untuk dimengerti sehingga sesamanya perlu merasakan simpati, turut merasakan duka yang dialami dan mendukungnya untuk tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Tujuannya adalah agar orang berdukacita dapat mengatasi kesedihannya tanpa kibat-akibat fatal atau paling tidak mengurangi akibat negatif akibat kesedihannya dan menuntun dia sampai pada pengertian “mengijinkan Tihan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi dan mengandalkan Dia” (Roma 8:28).

4.                  Kepedulian Terhadap Masalah-masalah Yang Terjadi dalam Hidup Manusia
Banyak masalah dalam hidup yang harus dihadapi. Dan tidak jarang manusia dihadapkan dengan berbagai frustasi, khususnya apabila keinginan atau kehendaknya tidak tercapai.[73] Sering muncul penghambat yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai apa yang diharapkan dan apa yang dituju. Masalah dalam hidup tidak akan pernah berakhir, sampai manusia menghadap Allah. Dan memamng masalah-masalah itu Tuhan ijinkan terjadi lewat setiap kehidupan manuusia dengan tujuan yang pasti yaitu untuk kebaikan manusia. Sebagai orang percaya perlu baginya untuk melihat masalah-masalah yang terjadi dalam hidup manusia seperti Yesus melihat yaitu dengan penuh kasih dan belas kasihan. Kasih ini jugalaha yang harus menjadi cerminan dalam tindakan orang Kristen yang terwujud lewat sikap peduli atas masalah-masalah dalam hidup manusia. Semua manusia, butuh perhatian (kepedulian), butuh penghargaan dan butuh penerimaan. Terlebih lagi mereka, orang yang memiliki masalah-masalah dalam hidupnya. Orang perlu menjadi rekan, sahabat, orang tua bagi mereka dan menjadi seperti Yesus laukuan yaitu mengerti dan menghargai keadaan mereka sebagai tindakan yang penuh kasih dan belas kasihan.




[1] Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengenbangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 530
[2] J.D.Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/Omf ), 594
[3] HendriksonSimbolon, Konsepsi Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan Komparatif) (Bogor: Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), 10
[4] J.D.Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/Omf ), 594
[5] H. Jagersma, Dari Alexander Agung Sampai Bar Kokhba, Sejarah Israel Dari 330 sm – 135 M (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 13
[6] Hendrikson Simbolon, Konsepsi Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan Komparatif) (Bogor: Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006),  10
[7]  L.E. Toombs, Diambang Fajar Kekristenan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983),  57-64
[8] HendriksonSimbolon, Konsepsi Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan Komparatif) (Bogor: Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), 10
[9]  J.D.Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I (Jakarta : Yayasan Bina Kasih/Omf ), 594
[10]  R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 173
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Klaus Wetzel, Kompendium Sejarah Gereja Asia (Malang: Gandum Mas 2000), 26.
[14] Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 24.
[15] Ibid, 12.
[16]  Ibid
[18] Walter A. Elwel, Evangelical Dictionary Of Teology (Michigan: Baker Book House, 1984), 656
[19] Gerard Kittel, Theological Dictionari Of New Testament Vol I (Michigan: Eardmans Publisher, 1986), 175.
[20] E.F. Harrison,  The International Standard Bible Encyclopedia Vol III (Michigan: Eardmans Publisher 1986), 175.
[21] J.L. Ch. Abineno, Apa Kata Alkitab III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 83.
[22] Gerard Kittel, Theological Dictionari Of New Testament Vol I (Michigan: Eardmans Publisher, 1986), 36.
[23] Colin Brown, Dictionari Og The New Testament Theology (Michigan: Zondervan Publishing House, 1980), 539.
[24] Andrew E. Hill dan John H. Walton,  Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 4.
[25] D. Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester (Jakarta: Bina Kasih OMF, 1995), 34.
 [26] Andrew E. Hill dan John H. Walton,  Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 187.
[27] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum Mas, 1998), 220.
[28] Robert M. Paterson, Tafsiran Kitab Imamat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 257.
[29] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum Mas, 1998), 221.
[30] C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 116.
[31] Ibid
[32] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh (Malang: Gandum Mas, 1998), 288.
[33] Samuel T. Schultz, The Gospel Of Moses (New York: Harper and Row, 1974), 6.
[34] C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 119.
[35] Ibid
[36] Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 39.
[37] __________, Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 1997), 335.
[38] Carl Barth, Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 81.
[39] Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 319.
[40] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Matius 1-10 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 290-291.
[41] Colin Brown, New Testament Theology (Michigan: Zondervan Publishing House, 1976), 547.
[42] Dorothy Marx, New Morality (Bandung:Kalam Hidup, 1994), 55.
[43] Tulus Tu’u, Etika Dan Pendidikan Seksual (Bandung: Kalam Hidup 1996), 287.
[44] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Matius 1-10 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 290-291.
[45] Dorothy Marx, New Morality (Bandung:Kalam Hidup, 1994), 58.
[46] Tulus Tu’u, Etika Dan Pendidikan Seksual (Bandung: Kalam Hidup 1996), 30.
[47] Dorothy Marx, New Morality (Bandung:Kalam Hidup, 1994), 58.
[48] Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1997), 3.
[49] J.H Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 8-9.
[50] Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 6.
[51] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab III Matius – Kisah Para Rasul (Jakarta:BPK Gunung Mulia 1980), 53.
[52] Ibid
[53] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1998), 84.
[54] Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Ceritera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 90.
[55] Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 34.
[56] Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Ceritera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 90.
[57] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 63.
[58] __________Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Malang: Gandum Mas, 1998), 1550.
[59] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 306
[60] Judy Bartel, Ibadah Kristen (Malang : Gandum Mas, 1981), 94.
[61] Judy Bartel, Ibadah Kristen (Malang : Gandum Mas, 1981), 99.
[62] Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini II (Malang: Gandum Mas, 1998), 7.
[63] D.W. Ellwis, Metode Penginjilan (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1993), 7.
[64] Billy Graham, Beritakan Injil (Yoyakarta: Yayasan Andi, 1992), 37.
[65] Stephen Tong, Teologi Penginjilan (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1998), 34.
[66] John Shott,  Isu-Isu Global (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996), 307.
[67] Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-Miskin Menurut Lukas (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 43.
[68] Wolfgang Stegemann,  Injil Dan Orang-Orang Miskin (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 2.
[69] Jonathan A. Tirsna, Mengatasi Masalah Hidup (Bandung: Kalam Hidup, 1993), 70.
[70] J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang-Orang Sakit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 4.
[71] Gary R. Collins, Konseling Kristen Yang Efektif (Malang: Seminari Alkitap Asia Tenggara, 1989), 160.
[72] Ibid, 169.
[73] Jonathan A. Tirsna, Mengatasi Masalah Hidup (Bandung: Kalam Hidup, 1993), 17.