BAB II
PEMBAHASAN
A. Doktrin
Keselamatan Menurut Kristen
1. Sejarah
Kekristenan
Kata kristen adalah adalah agama yang
disampaikan oleh Yesus Kristus (nabi Isa).[1] Istilah
Kristen pertama kali dipakai di Gereja Antiokhia (Syria) tepatnya sekitar tahun
40-an pada abad pertama masehi. Kemudian sebutan ini telah dibakukan pada
60-an.[2]
Kekristenan lahir di tengah-tengah bangsa Yahudi di Palestina sebelum
pertengahan abad pertama Masehi. Sejarah munculnya kekristenan tidak terlepas
dari sejarah agama dan budaya Yahudi yang telah mengalami pergolakan sejarah
yang sangat panjang.[3]
Istilah Christian (O)i, ditemukan
sekitar abad pertama M. Mula-mula istilah ini digunakan untuk menggambarkan
prajurit-prajurit Kristus, rumah-rumah Kristus, bahkan digunakan juga untuk
para pendukung-pendukung Kristus.[4]
Hancurnya Yerusalem di tangan Babilonia
tepatnya pada tahun 586 SM mengakibatkan banyak rakyat Yahudi tersebar luas
dari Palestina, juga kembalinya orang Yahudi ke Yerusalem dibawah pimpinan Ezra
dan Nehemia, ditambah lagi adanya terobosan kebudayaan Yunani-Helenistik sejak
ditaklukkannya Asia Barat Daya oleh Alexander Agung (333-332 M), maka setelah
Palestina dipengaruhi oleh kebudayaan Helenisme.[5]
Akhirnya bangsa Yahudi dijajah oleh bangsa Mesir (320-204 SM), Siria (204-165
SM) dan Romawi (63 SM-70 M).[6]
Pada masa kekuasaan Romawi dan
kekaisaran Romawi berpusat di Roma merupakan pusat kekeuatan politik dunia pada
masa menjelang munculnya kekristenan. Herodes agung yang memerintah dari tahun
37 SM – 4 M. Pada masa inilah Herodes ditunjuk sebagai seorang raja di wilayah
Yudea yang berpusat di Yerusalem. Pada saat itu bait suci Allah di Yerusalem
kembali dibangun (Yoh 2:20) dan masa ini kelompok-kelompok politik dan
keagamaan Yahudi (golongan Saduki, Herodian, Farizi, Zelot, dan Esseni serta
lembaga Sanhendrin) sangat dihargai.[7]
“Dalam Kisah
Para Rasul 24:5, para pengikut Yesus mula-mula ini pada waktu itu hanya
dianggap sebagai salah satu aliran atau sekte dari agama Yahudi. Memang ada
beberapa kesamaan antara agama Yahudi dan Kristen. Tetapi Yudaisme disini
sangat menekankan ritualisme, aturan-aturan lahiriah yang ketat, etika-sosial,
dimana semuak aktifitas itu bertujuan agar dapat berkenan pada Allah. Disinilah
terdapat titik perbedaan dengan ajaran kekristenan mula-mula. Yang menjadi
perbedaan pokok antar Yudisme dan Kekristenan (para pengikut Yesus mula-mula)
pada masa itu adalah masalah kepercayaan kepada Yesus. Sebab bagi para
pengiklut Yesus yang mula-mula, Yesus bukanlah hanya sekedar nabi dan guru
melainkan lebih dari sekedar itu adalah mesias perjanjian baru yang telah lama
dinanti-nantikan oleh bangsa Israel. Hal ini tentunya atas dasar nubutan
nabi-nabi pada perjanjian lama yang kini telah digenapi dalam diri Yesus dari
Nazaret (zak 9:9; Mat 16:15-17). Karena itu pula, para pengikut Yesus mula-mula
waktu itu sering disebut orang-orang Nasrani (Kis 24:5) atau juga disebut Orang
Kristen (Kis 11:26b)”.[8]
Kata Kristen yang sering digunakan
berasal dari bahasa Yunani yaitu Kristianos
atau Kristianoi yang berarti pengikut
Kristus. Awalnya kata ini merupakan kata yang bernada ejekan.[9]
Istilah ekklesia dalam konteks perjanjian baru tentang gereja dapat
diartikan sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus dan yang telah
dipanggil keluar dari dunia untuk dipersatukan dalam kesatuan tubuh Kristus.[10]
Jadi kekristenan bukanlah sekedar aturan-aturan atau ajaran-ajaran agama
tertentu melainkan suatu ungkapan dari iman kepada Yesus Kristus sebagai Mesias
yang datang untuk menjadu Juru selamat umat manusia.[11]
Yesus sendiri pernah membuat pernyataan penting sehubungan dengan gereja (Mat
16:13-19). Berdasarkan ayat tersebut maka dapat diketahui bahwa pribadi Yesus
merupakan dasar dari gereja, Ia adalah Mesias yang menyelamatkan umat manusia
dari segala dosa. Jadi titik awal berdirinya gereja adalah ketika seseorang
menerima Yesus sebagai Tuhan di dalam hatinya, menjadi pengampun bagi
dosa-dosanya.
“pada zama setelah rasul-rasul (70-140
M) kekristenan semakin tersebar keluar mulai dari daerah Syria, Asia kecil,
Yunani, Mesir, Mesapotamia, dan Italia. Dan setelah itu kira-kira pada tahun
150-200 M, kekristenan banyank diserang oleh ajaran sesat oleh ajaran-ajaran
bidat seperti: Gnostitisme dan ajaran-ajaran yang palsu (Kis 15:1-11).”[12]
Kekjristenan masuk ke daerah persia dan
India pada abad ke 3 M. Pada masa inilah kekristenan mengalami gelombang
sejarah yang baru. Setelah mengalami penganiayaan penganiayaan lagi dari
kekaisaran Romawi, akhirnya kekristenan memasuki masa-masa tenang, tepatnya
sejak Constantinus Agung menjadi kaisar Romawi (306-337 M). Adapun masa tenang
ini sebagai akibat dari agama Kristen
yang dijadikan sebagai agama resmi pada masa kekaisaran Romawi, sehingga
setiap warga negara diwajibkan memeluk agama Kristen.[13]
Setelah itu kekristenan terlibat dalam
perdebatan Kristologis yang panjang yang berujung pada munculnya beberapa
konsisli diantaranya: Konsisli di Nicea(325 M). Konsilis Nicea ini diadakan
sebagai tanggapan atas ajaran Arius. Arius percaya bahwa Allah Bapa lebih besar
daripada Allah Anak, yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh Kudus.[14]
Konsili Konstantinopel (berlangsung dari bulan Mei sampai Juli 381 M), konsili
ini membenarkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah sepenuhnya dan manusia
sepenuhnya. Kondisi di Efesus (431 M), dan konsili Chalcedon (451 M). Akibat
dari terjadinya perdebatan teologis dalam beberapa konsili tersebut adalah
terpecah-belahnya Kristen di Timur. Kristen timur menyebutnya dirinya sebagai
Kristen Ortodoks timur, terdapat di Rusia dan Balkan, sedangkan Kristen di
Barat yang bernama Kristen Katolik yang berpusat di Roma. Kristen Katolik di
Barat telah memakai sistem kepausan, dimana Leo Agung (440-461 M) menjadi Paus
yang pertama.[15]
Sekitar abad ke 7 M gerakan Islam muncul sebagai kekuatan baru dibidang agama
dan politik, di wilayah timur tengah.
“Hingga
abad ke 20 Kekristenan mulai masuk ke zaman modern, dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih semakin berkembang pesat. Situasi dunia saat itu banyak
mengalami perubahan besar dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya, kususnya
pasca perang dunia I pada tahun 1914-1918. Keadaan bertambah buruk dengan
terjadinya perang dunia II pada tahun 1939-1945. Peristiwa-peristiwa dunia itu
turut berpengaruh terhadap kekristenan. Dalam kekristenan waktu itu telah
bermunculan berbagai ilmu perang yang sering kali konflik satu dengan yang
lainnya.”[16]
2. Pandangan
Alkitab Tentang Keselamatan
Dalam perjanjian lama, kata keselamatan
memiliki dua pengertian yaitu : Pertama, keselamatan keselamatan pada masa kini
atau zaman ini (olam hazeh, dalam
bahasa Yunani aion houtos), [17]
artinya bahwa keselematan itu adalah berkat Allah dalam bentuk perlindungan,
pemeliharaan, kelepasan dari musush-musuh dan pemulihan Allah. Kedua,
keselamatan yang bersifat eskatologis atau masa yang akan datang ( ollam habba, dalam bahasa Yunani aion mellon ) artinya keselamatan dalam pengertian memperoleh
kehidupan kekal di surga.[18]
Melalu berbagai cara Allah bertindak
untuk menyatakan kehidupan kekal bagi bangsa-bangsa maupun individu-individu,
melalui percaya kepada Allah maka bangsa-bangsa akan diselamatkan. Berbica
mengenai keselamatan dalam Perjanjian Lama yang dibicarakan bukan hanya masa
kini atau bersifat kekinian tetapi juga berbicara soal kehidupan dimasa yang
akan datang. Hidup dalam berkat anugerah Allah, masuk dalam persekutuan dengan
Allah dalam kerajaan sorga.
Dalam kitab-kitab injil, kata
“menyelamatkan” dan “keselamatan” mengacu kepada suatu berkat eskatologis
(mengenai hal-hal terakhir) maupun berkat masa kini. Keselamatan itu sama
dengan kehidupan yang kekal dan masuk ke dalam kerajaan Allah dalam masa yang
akan datang (Mark 10:17-33). Keselamatan yang akan datang ini memiliki dua
pengertian, pertama lebebasan dari kefanaan, kedua, peraekutuan sempurna dengan
Allah. Keselamatan eskatologi tidak hanya meliputi penebusan tubuh, tetapi juga
pemulihan persekutuan antara manusia dengan Allah yang telah terputus oleh
dosa.[19]
Kitab Roma menulis bahwa semua manusia
telah berdosa (Rm 3:10-18,23). Dalam kitab Efesus 2:8-9 dikatakan bahwa usaha
manusia itu sia-sia. Itu berarti bahwa manusia memerlukan seorang penebus,
yang bisa menebus dan menyelamatkan
dirinya dari dosa.
Dalam Yohanes 14:6, Yesus berkata
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada
Bapa kalau tidak melalui Aku”. Ayat ini menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya
jalan dan bukan salah satu jalan. Keselamtan hanya akan terjadi jika seseorang
percaya kepada Yesus Kristus. Tanpa iman kepada Yesus Krustus maka tidak akan
mungkin seseorang dapat diselamatkan atau masuk kedalam kerajaan sorga.
Yesus adalah sebuah nama yang berasal
dari akar kata dalam bahasa Ibrani yang berarti menyelamatkan atau mendatangkan
keselamatan (Mat 1:21; 21:31-32; Luk 19:10; Yoh 4:42; Fil 3:20). Tetpai dalam
dalam Markus 5:34 menyatakan bahwa imanlah yang menyelamatkan.[20]
“Siapa yang percaya akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan
dihukum”(Mark 16:16). Ayat ini memberi penjelasan tentang dua hal yaitu percaya
dan tidak percaya. Jika percaya maka akan diselamatkan. Kata yang kedua yaitu
tidak percaya, merupakan paradoks kata percaya, dijelaskan bahwa siapa yang
tidak percaya maka akan dihukum.
Dalam Kisah Para Rasul 4:12 dikatakan “Dan keselamatan tidak ada di
dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini
tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan”. Ayat ini menegaskan bahwa untuk diselamatkan satu-satunya
syiarat untuk memperoleh keselamatan adalah adal percaya keda Yesus Kristus.
Sebab hanya kepada iman kepada Yesus Kristus orang akan diselamatkan dan ini
adalah hukum Allah yang tidak dapat diubah atau digantikan dengan hukum lain,
sebab sifatnya mutlak.
Jadi yang dimaksudkan dengan keselamtan
di sini adalah terbebaskan dari hukuman kekal dan masuk ke dalam kerajaan
surga, memperoleh kehidupan kekal untuk masa sekarang dan masa yang akan
datang.
3. Dasar
Allah Menyelamatkan Manusia
a. Anugerah
Anugerah
atau kasih karuniamerupakan suatu pemberian Allah yang sebenarnya tidak bisa
diperoleh melalui perbuatan baik apapun.[21]
Anugerah Allah, yaitu sifat kasih Allah yang diberikan kepada manusia, dimana
manusia sesungguhnya tidak layak untuk menerimanya, karena dosa yang telah
tinggal di dalam hidup manusia.[22]
Kata
“anugerah”, diterjemahkan dari kata dasar
kharis yang berasal dari bahasa Yunani. Pengertian umum dari istilah kharis, yaitu kemurahan hati (Luk
2:40,52), dimana kata kharis ini
diterapkan pada Yesus.[23]
Gagasan anugerah itu didasari atas segala perbuatan Allah terhadap Umat-Nya
dalam rangka keselamatan. Karya-karya Allah yang diarahkan pada manusia yang
olehnya manusia diselelamatkan itulah anugerah.
1. Anugerah
Umum
Setelah
manusia jatuh ke dalam dosa akibat memakan buah yang berada di tengah-tengah
taman Eden, maka manusia dijatuhi hukuman. Hidup manusia manusia menjadi berat
dan sukar. Namun, dibalik semua itu Tuhan telah memberikan jaminan terhadap
hidup manusia. Manusia harus bekerja keras untuk mendapati hidupnya.
Anugerah aalah
salah satu cara supaya manusia dapat diselamatkan. Anugerah umum ialah saat
Allah tidak memusnahkan alam semesta, dan sebaliknya Allah menghidupi seluruh jagad
raya termasuk manusia manusia yang mendiaminya. Anugerah umum ialah melayani
manusia untuk diselamatkan. Kristuslah yang sanggup mendatangkan anugerah.
Dialah yang akan memikul dan menanggung semua hukuman manusia.[24]
Jadi yang dimaksud anugerah umum adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan
melalui Yesus Kristus kepada seluruh manusia.
2. Anugerah
Kusus
Kelahiran
dan kehidupan Kristus di dunia, tinggal bersama manusia, serta menyelamatkan
manusia, inilah yang dimaksud dengan anugerah khusus.[25]
Perlu diketahui bahwa hanya anugerah Allah saja yang sanggup menyelamatkan
manusia dari hukuman dosa.
b. Pilihan
Allah
Pemberitahuan
anugerah telah ditentukan jauh sebelum dunia ini dijadikan bagi setiap orang
yang menerimanya. Untuk menyelamatkan dan menjadikan setiap manusia sebagai
saluran anugerah bagi orang-orang yang ada di sekitar mereka. Pilihan Allah
inilah yang menjadi dasar kedua dari keselamatan (Rm 8:29; Ef 1:4-5; I Pet
1:203; dan 2 Tes 2:13).
Anugerah
ini hanya berguna bagi setiap mereka yang benar-benar mau menerimanya. Jadi,
setiap orang yang meneriman anugerah itu akan beroleh keselamatan dan
sebaliknya, orang-orang yang menolak anugerah ini akan kehilangan
keselamatrannya.[26]
c. Panggilan
Allah
Panggilan Allah
ini ditujukan kepada semua manusia (Yes 1:18; Mat 11:21; Yoh 3:16; Rm 10:13; 2
Pet 3:9; Why 22:17b) dan bersifat pribadi (Mar 1:16-20; 2:14). Panggilan Allah
ini berhubungan langsung dengan keselamatan seseorang (Ams 7:14-15; Mat 11:18-30).[27]
Panggilan seseorang pada awalnya dimulai oleh Allah tritunggal. Pertama,
panggilan ini merupakan inisiatif atau karya Allah Bapa (1 Kor 1:9; 1 Tes 2:12;
1 Pet 5:10). Namun, dalam pelaksanaannya Allah Bapa mengutus Allah Anak (Mat 11:28;
Luk 5:32; Yoh 7:37 Rm 1:6). Kemudian Kristus memanggil melalui firman-Nya dan
Roh Kudus (Mat 10:20; Yoh 15:26; Kis 5:31-32).[28]
3. Tujuan
Keselamatan
a. Dalam
Sifat Manusia
i.
Pengetahuan akan Allah
Alkitab menyatakan bahwa manusia
memiliki pengetahuan akan Allah melalui suara alam ciptaan-Nya (Rm 1:20; Kis
14:15-17; 17:22-23). Dengan demikian, maka tujuan Allah menyediakan keselamatan
bagi manusia ditunjukkan melalui sisa-sisa pengetahuan akan Allah yang Ia
biarkan tetap dimilki oleh manusia.[29]
ii.
Pengetahuan akan Dosa
Tujuan Allah menyediakan keselamatan
bagi manusia ditunjukkan melalui adanya dosa dari kejahatan yang terjadi. Hal
tersebut terjadi karena semua manusia memiliki kesadaran moral sekalipun norma
pertimbangan moral yang mereka anut lebih lebih rendah daripada norma moral
yang dikemukakan dala Alkitab.[30]
b. Dalam
Alkitab
Perjanjian Baru
merupakan penggenapan Perjanjian Lama, yang mengunggkapkan tentang tujuan
Allah. Semua tindakan Allah kepada umat Israel di Perjanjian Lama membantu
untuk menetapkan dan mengembangkan iman kepada Allah. Tuntutan-tuntutan ilahi
serta hukumannya bagi yang tidak taat, membantu untuk membangkitkan kesadaran
akan kesalahan serta kekuatan akan akibat-akibat dosa. Sistem korban dan
keimanan untuk meyelenggarakan, menunjukkan perlunya suatu cara untuk
menghilangkan kesalahan manusia. Keselamatan merupakan rencana Allah. Allah
memiliki tujuan yang jelas, seperti yang dikatakan dalam Efesus 1:9-10,
“meyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesua dengan rencana kerelaan-Nya,
yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus
sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai
kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi."[31]
4. Syiarat-Syiarat
Keselamatan
Diatas telah dijelaskan tentang anugerah
Allah. Untuk memenuhi anugerah tersebut seseorang harus memenuhi
syiarat-syiarat yang telah yang telah ditentukan. Syiarat tersebut antara lain
:
a. Mengakui
Dosa
Kenyataannya
banyak orang yang tidak mampu untuk mengakui dosa-dosanya. Bagi orang yang
percaya kepada Tuhan, maka Roh Kudus akan menginsafkan akan dosa dan akan
memampukan manusia untuk menyadari dosa-dosanya.
b. Bertobat
Untuk
mendapat anugerah keselamatan Allah maka manusia harus bertobat. Pertobatab berarti
berbalik dari dosa-dosa kepada Tuhan. (Ams 1:23; Mat 18:3; Kis 3:19). Melalui
ayat-ayat ini Alkitab menghimbau agar semua orang berbalik kepada Allah.[32]
Keselamatan bukanlah serangkaian upacara dan peraturan keagamaan yang rumit
atau sekumpulan tindakan yang gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia.
Keselamata terjadi dengan seketika dalam kehidupan seseorang ketika ia dengan
sungguh-sunnguh percaya kepada Allah.[33]
Jadi keselamatan ini bisa dikatakan bersifat pribadi, karena keselamatan ini
didapat seseorang ketika ia secara pribadi berbalik dan percaya kepada Allah.
c. Iman
Iman
adalah percaya. Jadi untuk mendapatkan anugerah keselamatan dari Allah,
seseorag harus beriman dan percaya dengan sepenuh hati kepada Allah yaitu Yesus
Kristus.[34]
5. Bukti-Bukti
Bagi Orang Yang Diselamatkan
a. Keselamatan
didapat dari kesaksian langsung dari Roh Kudus (Rm 8:16). [35]
b. Bukti
lahiriah kepada semua orang adalah hidup dalam kebenaran dan kesucuian yang
sejati (Ef 4:24; Tit 2:12).[36]
6. Proses
Keselamatan
a. Pertobatan
Menurut
arti kata, pertobatan berarti perubahan pikiran. Menurut Spurgeon, pertobatan
merupaka akibat dari ketakutan terhadap penghukuman dan ketakutan terhadap
murka Allah.[37]
Pertobatan merupakan sambutan manusia untuk Tuhan.[38]
Dalam
Matius 4:17; Markus 1:15 dan Lukas 24:47, Yesus menyerukanb agar orang-orang
Yahudi yang hidup dalam dosa segera bertobat sehingga dengan demikian akan
memperoleh keselamatan. Dalam Perjanjian Lama, Alkitab menerjemahkan kata
“tobat”, yang berarti berbalik, berpaling atau kembali pada Tuhan (Ams 1:23; Yes 31:6; Yeh 14:6; Yoel 2:12).[39]
Kata
yang dipakai dalam Septuaginta adalah
epistrophe, yang memiliki pengertian
yang sama dengan kata syub[40]
b. Iman
c. Kelahiran
kembali
d. Pembenaran
e. Pengangkatan
f. Penyucian
g. Pemuliaan
[1]Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan
Pengenbangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 1995), hlm 530
[2] J.D.Douglas, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I, (Jakarta : Yayasan Bina Kasih/Omf ), hlm 594
[3]HendriksonSimbolon, “Konsepsi
Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan
Komparatif)” (Bogor : Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), hlm 10
[4]J.D.Douglas, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I, (Jakarta : Yayasan Bina Kasih/Omf ), hlm 594
[5]H. Jagersma, Dari Alexander
Agung Sampai Bar Kokhba, Sejarah Israel Dari 330 sm – 135 M (Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 1994) hlm 13
[6]Hendrikson Simbolon, “Konsepsi
Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan
Komparatif)” (Bogor : Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), hlm 10
[7] L.E. Toombs, Diambang Fajar
Kekristenan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983), hlm 57-64
[8]HendriksonSimbolon, “Konsepsi
Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan
Komparatif)” (Bogor : Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), hlm 10
[9]J.D.Douglas, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I, (Jakarta : Yayasan Bina Kasih/Omf ), hlm 594
[10] R. Soedarmo, Ikhtisar
Dogmatika (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1984), hlm 173
[11]Hendrikson Simbolon, “Konsepsi
Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan
Komparatif)” (Bogor : Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), hlm 10
[12] Ibid
[13] Klaus Wetzel, Kompendium
Sejarah Gereja Asia, (Malang: Gandum Mas 2000), hlm 26
[14] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996). Hlm 24
[15]HendriksonSimbolon, “Konsepsi
Keesaan Allah Menurut Perspektif Islam dan Kristen (Suatu Tinjauan
Komparatif)” (Bogor : Sekolah Tinggi Teologi Pentakosta Bogor, 2006), hlm 12
[16] Ibid
[17] Lousi Berkof, Teologi
Sistematika Jilid 6, (Surabaya: Momentum, 2005) hlm 11
[18] Ibid
[19] George Eldon Ladd, Teologi
Perjanjian Baru Jilid 1, (Bandung: Kalam Hidup, 1999) hlm 95
[20] W.R.F. Browing, Kamus
Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm, 199
[21]Theol Dieter Becker, Pedoman
Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) hlm 139
[22]Ichwei G, Indra, Teologi
Sistematika: Pengetahuan Bagi Kaum Awam Dan Anggota Gereja, (Bandung:
Literature Baptis, 2003) hlm 131
[23] Donald Guthtrie, Teologi
Perjanjian Baru II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm 249.
[24]R. Soedarmo, Ikhtisar
Dogmatika (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1984), hlm 129-131
[25] Ibid
[26]Ichwei G, Indra, Teologi
Sistematika: Pengetahuan Bagi Kaum Awam Dan Anggota Gereja, (Bandung:
Literature Baptis, 2003) hlm 32
[27] Ibid, hlm 133
[28] Louis Berkof, Teologi
Sistematika Jilid 4, (Surabaya: Momentum, 1997), hlm 101
[29] Henry C. Thiessen, Teologi
Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1992), hlm. 304
[30] Ibid
[31] Ibid, hlm. 305
[32]William W. Menzies., Stanley M.
Horton, Doktrin Alkitab, (Malam: Gandum Mas, 1998), hlm. 103.
[33] Ibid, hlm. 102
[34] Ibid, hlm. 135-136.
[35] Ibid, hlm. 96.
[36] Ibid
[37] Harold M. Freligh, Delapan
Tiang Keselamatan, (Bandung: Kalam Hidup, 1962), hlm. 25.
[38] Donald Guthtrie, Teologi
Perjanjian Baru II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm 214.
[39] William W. Menzies., Stanley M.
Horton, Doktrin Alkitab, (Malam: Gandum Mas, 1998), hlm. 103.
[40] Niftrik, G.C. van den.,
B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 493.